Thursday, 30 October 2014

Menelusuri Jejak kamp konsentrasi Daghau, Jerman

Mungkin bukan hal yang menyenangkan untuk berwisata di tempat ini, tetapi saya sarankan anda mengunjungi kamp ini untuk melihat dan tidak melupakan era gelap kemanusiaan, lambang kebengisan, teror kehidupan, lebih baik mati daripada hidup di zaman gelap pada saat itu. Sejumlah besar tahanan yang disalahgunakan oleh para dokter SS (Schutzstaffel ) untuk percobaan medis; sejumlah tahanan menderita penyiksaan hingga kematian, hipotermia, malaria, kelaparan, dan percobaan lainnya yang atas dasar nama ilmu kedokteran para tahanan ini melalui hal-hal yang sangat mengerikan. 

 



 

Ada beberapa kamp konsentrasi Nazi yang tersebar di berbagai daerah dan negara, dan yang terbesar adalah Auschwitz Polandia, kamp yang saya kunjungi adalah kamp Dachau. Kamp ini merupakan kamp konsentrasi Nazi yang terletak di Dachau, yang berada di utara Munchen, Jerman bagian selatan, adalah salah satu kamp konsentrasi Nazi pertama di Jerman yang didirikan pada tanggal 22 Maret 1933. Kamp ini sebagai contoh model pertama untuk semua kamp-kamp konsentrasi di kemudian hari dan sekolah kekerasan untuk SS Nazi. Dalam dua belas tahun keberadaannya, lebih dari 200.000 orang dari 34 negara dipenjarakan di Dachau dan sub kampnya. Lebih dari 50.000 orang meninggal, yang terbesar adalah warga Yahudi, tahanan politik, homoseksual, gypsi, dan komunis. Pada 29 April 1945 Dachau dibebaskan oleh pasukan Amerika, dan yang selamat 32.000 orang.



  Salah satu pemandangan dlm foto


Ketika saya sampai di kamp ini yang di pagari tembok tebal setinggi 3 meter dengan menara pengintai di tiap sudutnya. Dibawah tembok bagian dalam terdapat pagar listrik yang mematikan. Di atas gerbang kamp ini terdapat tulisan '"Arbeit Macht Frei" ("Work Sets You Free/ Bekerja maka akan merdeka”). Kamp ini dibagi menjadi dua bagian--daerah kamp dan daerah krematorium. Daerah kamp terdiri dari 32 Barak, termasuk satu untuk rohaniwan yang dipenjara yang menentang rezim Nazi dan satu untuk eksperimen medis.

Kebetulan cuaca gerimis dan langit kelabu, sehingga sayapun cepat-cepat masuk ke ruangan museum, dimana saya di suguhkan foto-foto para tahanan yang sungguh membuat saya merinding melihatnya, dengan begitu banyak penderitaan karena siksaaan, kelaparan, dan juga sebagai kelinci percobaan dari para dokter Nazi. Serta foto-foto mayat-mayat yang di tumpuk dalam satu liang, yang di jejer, foto mayat-mayat yang di tumpuk setelah dari kamar gas beracun, atau foto mayat-mayat yang masih bergelantungan di pagar listrik sebagai peringatan bagi yang ingin melarikan diri. Serta foto ketika para tahanan itu dijadikan kelinci percobaan diatas meja bedah. juga foto-foto bagaimana kondisi mereka ketika diselamatkan oleh tentara Amerika. Banyak pengunjung yang datang ke kamp ini tetapi tidak ada hingar bingar wajarnya tempat wisata, yang ada semua diam seribu bahasa dan dengan berbagai expresi di wajah mereka. Memasuki kamp ini tidak di pungut bayaran hanya membayar biaya parkir mobil yang seharga 3 euro.



Barak



Setelah dari ruangan yang penuh dengan foto, saya melanjutkan perjalanan saya dengan peta petunjuk untuk mengikuti bagaimana perjalanan para tahanan itu ketika sampai di kamp ini, lalu para tahanan itu dimasukkan ke dalam satu ruangan yang memang dikhususkan untuk para tahanan baru. Di sini para tahanan harus melucuti semua yang melekat ditubuhnya dan semua barang bawaannya, lalu mereka di haruskan mandi dan ganti pakaian khas tahanan kamp, dan mereka masing-masing dimasukkan ke barak dengan tempat tidur sempit dan bertingkat. Ada 30 barak yang terdapat di kamp ini, tetapi hampir semua sudah di bumi hanguskan, dalam satu barak ada yang bahkan menampung 1800 tahanan. Toilet tahanan berada di ruangan yang berbeda, namun masih berada dalam barak tersebut. Para tahanan hanya diperkenankan memakai toilet di waktu pagi dan siang hari saja dan hanya beberapa menit. Orang tua, atau yang sakit-sakitan tak jarang meninggal di tempat dan terinjak-injak bercampur dengan kotoran. Juga, bagi tahanan yang tidak mau bekerja mereka akan disiksa dan ditenggelamkan ke dalam air kloset. 

Para tahanan yang telah masuk ke kamp konsentrasi ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghirup udara bebas, bahkan banyak yang nekat melarikan diri tetapi selalu berakhir kematian dengan di tembak di tempat atau mati tersengat listrik pagar. Mereka mengalami penyiksaan-penyiksaan, kerja keras dengan berbalut baju tipis di musim dingin, mendapat berbagai penyakit hingga meregang nyawa. Pada masa itu terkenal dengan istilah dokter pencabut nyawa, dikarenakan bukan sebagai penyembuh penyakit tetapi sebagai kelinci percobaan bagi dokter-dokter Nazi. 

 

Gas Chamber


Lalu saya beralih ke daerah krematorium, Ketika saya masuk ke gedung ini, rasa ngeri menyusup di dada. Terbayang ratusan tahanan yang di bunuh di ruangan gas beracun/ gas chamber ini, dimana para tahanan di masukkan ke dalam satu ruangan dengan alasan untuk kebersihan dan kesehatan maka para tahanan diharuskan membuka semua baju mereka. Setelah itu mereka dimasukkan ke satu ruangan khusus, dan mereka di beritahu bahwa itu ruangan untuk sterilisasi dari berbagai kuman yang melekat di tubuh mereka. Ketika para tahanan telah masuk ke ruangan itu, bukan air yang keluar dari pancuran tetapi gas beracun, kemudian para tahanan yang mati lalu dikumpulkan dan di bakar di ruang krematorium hingga tidak bersisa. Sungguh suatu era kemanusiaan yang kelam. 


Ruang Krematorium


20 tahun kemudian, Dachau menjadi situs Memorial didirikan atas prakarsa tahanan yang masih hidup. Situs Memorial ini mencakup taman kamp tahanan yang asli, krematorium, pameran berbagai kenangan, Perpustakaan dan arsip, dan toko buku. Setelah mengunjungi kamp ini, saya rasa Jerman adalah negara yang berani mengungkap sejarah kelam negerinya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Tidak semua bangsa punya keberanian untuk membuka aib negerinya sendiri. 


Happy Traveling....

Wednesday, 22 October 2014

One Day Trip Pekanbaru-Bukittinggi-Padang Panjang-Payakumbuh





Inilah perjalanan saya yang paling singkat, padat dan penuh pesona. Suatu kali terbersit keinginan mengunjungi tempat-tempat wisata di Sumatera Barat, yang terkenal dengan jam Gadangnya, Lembah Harau, serta tidak lupa rendangnya yang menendang lidah. Maka hari itupun sampailah ketika seorang teman saya menawarkan diri untuk mengantar saya berkeliling ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi dalam sehari. Saya pikir why not?
Nah inilah saya dalam pesawat menuju ke kota Pekanbaru, kota dengan tingkat pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi yang tinggi. Ketika pesawat yang saya tumpangi landing di bandara Sultan Syarif Kasim II, saya langsung dijemput teman yang sudah siap antar culinary masakan Melayu di kota ini. Masakan di sini khas dengan bumbu kental dan rasanya menggoyang lidah. Setelah perut kenyang, saya diantar keliling kota pekanbaru, setelah itu didrop di hotel untuk beristirahat dan mempersiapkan tenaga untuk perjalanan panjang keesokkannya.

Jam 3 pagi pintu kamar telah diketok, dan tanpa menunggu lama sayapun langsung masuk mobil dan duduk manis, kitapun langsung berangkat, dengan tujuan pertama ke Bukittinggi. Sepanjang perjalanan saya hanya bisa tertidur karena semuanya masih gelap dan kabut dimana-mana, tetapi tiba-tiba teman saya menghentikan kendaraannya di tengah jalan, dan dia menunjuk ke tengah jalan dimana seekor ular besar sedang menyebrang dan berhenti karena lampu mobil, dan ketika lampu mobil di matikan, si ularpun melanjutkan perjalanannya menyebrang. Dan sayapun kembali melanjutkan tidur yang tertunda, dan terbangun setelah sampai di Bukittinggi. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Dan kota bukit Tinggi masih diselimuti kabut pagi, kamipun menuju ke benteng Fort De Cock, yang dimana adalah benteng bekas Belanda. Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825, pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Di sekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Dan kita juga bisa membaca sedikit sejarah benteng ini di sebuah piagam tidak jauh dari benteng.



Antara Benteng Fort De Cock dan kebun Binatang Bukit Tinggi serta museum Rumah Adat Baanjuang dihubungkan sebuah Jembatan, jembatan Limpapeh, dan jembatan ini persis diatas jalan raya dalam kota Bukittinggi, sehingga kita dapat melihat pemandangan kota dari atas jembatan ini.




Setelah selesai keliling museum Rumah Adat Baanjuang, kamipun menuju ke landmark Kota ini, Jam Gadang. Menara jam yang selesai di bangun pada tahun 1926 adalah sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock/Kota Bukittinggi. Jam gadang ini mengalami 3 kali perubahan bentuk atapnya, ketika pertama kali di dirikan atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian masa pendudukan Jepang, diubah menjadi bentuk pagoda. Dan setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, yang kita lihat sekarang. 




Setelah mengitari Jam Gadang dan sekitarnya kamipun melanjutkan penjelajahan ke ngarai yang tidak jauh dari Jam Gadang, Ngarai Sianok. Ketika sampai di Ngarai ini, mata saya tidak bisa berkedip, karena keindahan ngarai ini telah memukau saya dan rasa kagum membuat saya tidak bisa berkata-kata, hanya mulut berdecak karena indahnya....
Ngarai Sianok memiliki dua dinding yang hampir vertikal dan saling berhadapan. Tingginya sekitar 100 sampai 200 meter dan panjangnya sekitar 15 km. Dinding ini membentuk ngarai dimana saya bisa melihat ladang padi yang luas dan sungai. Ngarai ini dipisahkan oleh Bukittinggi dan Gunung Singgalang.





Selesai menikmati keindahan alam di ngarai Sianok, kami melanjutkan perjalanan menuju Padang Panjang, dimana terletak air terjun lembah Anai, dan inilah pertama kalinya saya melihat air terjun persis di tepi jalan raya.... sungguh indah dan menyejukkan hati bagi siapaun yang melewati jalan ini.... Dan sayapun langsung turun ke bawah dan berdiri dibebatuan dan berendam kaki dan menyejukkan muka dengan cipratan embun dari air yg turun... ahhhh segerrrrrnyaaaa....
 


Setelah bersantai di air terjun, kamipun menuju ke Payakumbuh, sebelum sampai ke tujuan, kami singgah di Ngalau Indah, sebuah gua yang cantik, tetapi sangat disayangkan telah banyak kerusakan dengan coretan tangan-tangan yang usil serta bau yang tidak sedap.



 
Akhirnya kamipun memasuki Lembah Harau yang terletak di Kabupaten Limapuluh Koto, Kota Payakumbuh. Lembah Harau adalah suatu lembah dengan pemandangan bukit-bukit batu yang warna warni. Inilah surganya bagi pemanjat dinding atau rock climber.... seandainya saya bisa memanjat, ingin kurasakan pemandangan dari atas bukit yang memandang ke lembah penuh sawah nan hijau ini.... Tidak berapa lama mengelilingi lembah ini, kami menemukan air terjun dengan kolam kecilnya yang tenang, dan tidak jauh dari air terjun itu terdapat seorang anak kecil penjual tanaman, dan sayapun tidak lupa membeli sebuah anggrek selop.



Setelah puas berkeliling di lembah Harau, kamipun menuju kembali ke arah kota Pekanbaru. Dan tidak lupa mengisi perut di sebuah restaurant di kelok Sembilan, restauran yang mempunyai pemandangan kearah jalanan yang menikung dan hutan di kawasan perbukitan nan hijau. Kelok Sembilan adalah ruas jalan berkelok yang terletak sekitar 30 km dari kota Payakumbuh. Jalan ini memiliki tikungan yang tajam dan lebar sekitar 5 meter, berbatasan dengan jurang, dan diapit oleh dua perbukitan di antara dua cagar alam: Cagar Alam Air Putih dan Cagar Alam Harau. Jalan Kelok sembilan dibangun semasa pemerintahan Hindia-Belanda antara tahun 1908–1914. Jalan ini meliuk melintasi Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan Pulau Sumatera. Pada saat perjalanan saya, jembatan layang kelok sembilan belumlah jadi.


Dan terakhir sebelum sampai ke Pekanbaru, kami sempatkan diri mampir di Muara Takus, suatu candi Budha yg serba merah bata.... Candi peninggalan kerajaan Sriwijaya.

Akhirnya selesailah perjalanan panjang kami one day trip ke Sumatera Barat, dan sampailah kami di Pekanbaru dengan rasa kagum, dan bangga bahwa Indonesia itu memang indah.....



Friday, 17 October 2014

Paris, Bordeaux, Toulouse di Malam Hari

Salah satu kesukaan saya ketika mengunjungi suatu tempat adalah selalu menyempatkan diri jalan-jalan di malam hari. Loh kok malam hari sih? Kan gelap dan kurang bisa menikmati? Nah inilah salah satu hal yang saya suka ketika jalan-jalan di kota-kota besar di eropa. Kebanyakan bangunan terkenal atau bersejarah selalu di sorot dengan cahaya lampu yang kuat di malam hari, sehingga mereka bermandikan cahaya lampu yang berwarna warni, yang sangat kontras dengan kegelapan malam yang menyelimutinya.Bahkan pada saat blue hour (waktu senja ketika langit masih nampak biru namun lampu-lampu sudah mulai dinyalakan), kita bisa melihat keindahan bangunan yang bermandikan cahaya dengan latar belakang langit yang biru. Banyak bangunan yang di siang hari terlihat hanya biasa saja tetapi ketika malam tiba, mereka akan muncul seperti cerita dalam dongeng.


 Menara Eiffel


Menara Eiffel di lihat dari gedung Montparnasse


Place de la Bourse, Bordeaux

 Le Grand ThéÒtre, Bordeaux

Pont Neuf, Toulouse

 Pont Neuf dari dekat, Toulouse


 
Mont St.Michel, Normandi

Jangan takut untuk memotret di malam hari hanya karena bukan kamera canggih jenis SLR, kamera saku bahkan kamera di handphonepun bisa. Dan jangan tidak pede hanya karena kamera biasa, yang penting momen indah terekam dalam kamera. 



Wednesday, 15 October 2014

ANDORRA, PERMATA DI PEGUNUNGAN PYRENEES

Andorra adalah sebuah negara independen kecil yang bersinar seperti permata tertanam di tengah-tengah Pegunungan PyrΓ©nΓ©es, antara Perancis dan Spanyol. Ini adalah negara terkecil no.6 di Eropa, yang memiliki luas 468 km2. Ibu kota Andorra, Andorra la Vella, adalah ibu kota tertinggi di Eropa, yang pada ketinggian 1023 m. Bahasa resmi Andorra adalah Catalan, meskipun Spanyol dan Perancis juga umum digunakan.

Andorra bukanlah anggota Uni Eropa dan untuk perjalanan ke Andorra tidak diperlukan visa bagi warga negara Eropa. Bagi warga negara diluar Eropa dapat mengajukan visa Schengen untuk mengunjungi Andorra, dikarenakan negara ini tidak memiliki airport sendiri, sehingga harus melalui jalan darat dari Spanyol atau Perancis. Penduduk negara mungil ini hanya 8% dari luas wilayahnya, sedangkan 92% sisanya adalah hutan, danau, sungai, dan pegunungan. Jumlah penduduk Andorra juga hanya sekitar 84.000 jiwa (kira-kira hanya sepertiga jumlah penduduk satu kecamatan di Jakarta).

Banyak jalur dari Perancis yg menuju ke Andorra, salah satu yang paling saya suka adalah jalan yang melewati Port Denvalira. Jalanan yang berkelok-kelok naik-turun, menyuguhkan pemandangan puncak gunung yang tertutup salju dan lembah-lembah yang indah dengan beberapa rumah yang saling berjauhan, menjadi santapan manis sebelum sampai di Andorra la Vella. 




Walaupun Andorra adalah negara kecil, tetapi banyak hal yg ditawarkan, tempat ski dengan pemandangan spektakuler, surga belanja bagi shopaholic, karena negara ini tidak mengenakan pajak barang, sehingga harga jauh lebih murah dari negara-negara lain di Eropa. Ketika kami berkeliling di kota Andorra la Vella, ibu kota dengan penduduk tak sampai 23 ribu jiwa, yang hanya dengan luas sekitar 30 km persegi, banyak toko-toko yang mendominasi di kota ini. Paling banyak adalah toko-toko yang menjual alat-alat elektronik kecil. Mulai dari smartphone, pc tablet, gadget mainan, kipas angin, blender, kamera, dll. Serta toko baju, tas-tas bermerek, jam tangan, perhiasan emas, sepatu, parfum, dll. Walaupun lebih murah tetapi keaslian barangnyapun dijamin, serta garansi yang diberikan bila membeli barang elektronik, adalah garansi internasional.



Selain pusat belanja, tak banyak yang ditawarkan di kota ini, dan kamipun akhirnya menuju ke kota tua. Bangunan-bangunan yang terkenal di kota tua ini adalah gereja Sant Esteve dan Casa de la Vall.
Gereja Sant Esteve sudah berdiri sejak abad ke-11 dan telah mengalami perubahan besar dalam abad ke-20. Casa de la Vall awalnya dibangun oleh keluarga kaya sebagai hunian pada tahun 1580 lalu di beli oleh Dewan Council pada 1702 dan sekarang menjadi gedung Parlemen Andorra. Disamping gedung ini terdapat sebuah patung dan juga sebuah spanduk kecil menerangkan sejarah singkat parlemen Andorra dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Gedung ini juga mempunyai halaman yang luas dan dari sini kita dapat memandang lembah dan pegunungan hijau di sekitarnya.












Pada hari kedua kami menjelajahi desa Encamp dan La Massana. Suasana di kedua desa ini sangat sepi, rumah-rumah dan bangunan terbuat dari bebatuan, mungil, dan dihiasi bunga-bunga di depan jendela. Lalu kamipun memarkir kendaraan di sebuah parkiran untuk melanjutkan hiking ke danau d'Engolasters, yang terletak 1616 m diatas permukaan laut.. Dari tempat parkiran hingga ke danau, jarak yang harus kami tempuh sekitar 3,5 km. Sepanjang jalan kami dapat menyaksikan pemandangan pegunungan dengan puncak berselimutkan salju, tebing batu menghiasi permukaan gunung, dan lembah hijau dengan pohon menjulang dari segala penjuru. Serta banyak aliran air yang turun dari gunung, dan ada beberapa menjadi air terjun mungil. Dan di lembah kita dapat melihat kota-kota kecil dan juga kota Casa de la Vall. Kita beberapa kali berpapasan dengan keluarga yang hiking juga ataupun orang-orang yang sedang jogging.









Sesampai di danau d'Engolasters , pemandangan danau yang sejuk dan bening dengan dikelilingi hutan yang hijau telah menghapuskan rasa lelah selama berjam-jam hiking. Terdapat 2 restaurant di danau ini, kita dapat mengelilingi danau ini ataupun melanjutkan perjalanan dengan kuda menyusuri hutan di sekitarnya.


Setelah puas menikmati pemandangan disekitar danau, kamipun turun dan menlanjutkan jelajah ke desa sekitar Encamp. 






Pada malam harinya kami menikmati suasana malam yang penuh dengan lampu serta suasana yang mendekati Natal. 








Keesokkan paginya sebelum meninggalkan Andorra, kami mengunjungi jembatan tua La Margineda. Setibanya kita di sini, tidak banyak yang dapat kami nikmati, hanya sebuah jembatan tua, suasana sepi dan tidak ada pemandangan lain yang menarik. Lalu kamipun melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah Perancis, dan sekali lagi kami berhenti di kota Pas de la Casa untuk berkeliling dan sekali lagi kota inipun penuh dihiasi dengan berbagai toko dan supermarket. Setelah puas berkeliling kitapun melanjutkan perjalanan sambil sekali-sekali berhenti untuk menikmati pemandangan pegunungan yang diselimuti salju dan kita juga melewati tempat-tempat bermain ski dengan gondola-gondola yang membawa para pemain ski ke puncak gunung






 



Tuesday, 14 October 2014

KEPAK SAYAP : 22 KISAH PEREMPUAN INDONESIA MENEMBUS BATAS 5 BENUA





Setelah melalui proses yang panjang dalam pengumpulan data dan editing selama kurang lebih 1 tahun, buku KEPAK SAYAP yang merupakan kumpulan kisah 22 orang perempuan Indonesia yang hidup dan menetap di luar negeri akhirnya terbit sudah.

Buku ini perlu dibaca oleh para perempuan Indonesia: Baik yang telah tinggal dan menetap di luar negeri. Kamu tidak sendirian! Kita bisa berjuang bersama dan saling meringankan beban.
Juga bagi para perempuan Indonesia yang bermimpi untuk terbang jauh meninggalkan tanah air. Sediakan payung sebelum hujan! Karena kenyataan hidup di luar bukanlah mimpi 1001 malam yang bisa begitu saja kita raih tanpa perjuangan.

22 perempuan Indonesia ini, samasekali bukanlah perempuan hebat. Kami perempuan Indonesia biasa yang ingin berbagi cerita suka–duka kami jauh dari tanah air.

Inilah kami:  

Mella Mariana: Jakarta–Brunei–Kuala Lumpur–Melbourne Australia.  
Bintang Dini: Jakarta–Milan–Amsterdam Belanda.  
Maria Goreti: Yogyakarta–Belanda–Kepulauan Solomon. 
Ita Viborg: Surabaya–Shanghai–Aalborg Denmark.  
Kadek Martini: Bali–Odense Denmark.  
Sri Sariyani: Bogor–Kopenhagen Denmark.  
Tesa Contessa: Balikpapan–Esbjerg Denmark.  
Dewi Damanik: Medan–Nuuk Greenland.  
Nina Ramaputra: Jakarta–Nuuk Greenland.  
Nofi Heradita: Jakarta–Bali–Jerman–Port–au–Prince Haiti. 
Nita Murniati: Jakarta–Hong Kong.  
Rieska Wulandari: Jakarta–Milan Italia.  
Bulan Sutedja–Sastranegara: Jakarta–Osaka Jepang.
 Helena Ignasia–Pfau: Jakarta–Ludwigsburg Jerman. 
Bintang Howard: Jakarta–Tumbler Ridge Kanada. 
Yuliana Soetandang: Jakarta–Dawson Creek Kanada. 
Dyah Sandhiarani: Bandung–Nairobi Kenya.  
Jaziar Radianti: Bandung–Grimstad Norwegia.  
Dwi Ningsih: Surakarta–de La Creuse Perancis Tengah.  
Mimi Champy: Jakarta– Sancerre Perancis.  
Asmi Naomi Frans: Kupang NTT–Zanzibar Tanzania. 
Kristina Budiati: Indonesia–Denmark–Zanzibar Tanzania.

Buku ini bisa dipesan melalui Indie Book Corner dan juga dapat dibeli di toko buku Gramedia. Kami semua ber 22 ini berencana akan menyalurkan hasil penjualan buku ini untuk kegiatan pemberdayaan perempuan Indonesia. Silakan pesan buku ini segera dan dapati kisah kami di dalamnya.


Jejak Pengungsi yang tertinggal di Pulau Galang

Ketika saya masih di Sekolah, saya banyak mendengar dan belajar sejarah tentang ratusan ribu pengungsi Vietnam selatan yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain pasca perang saudara di Vietnam. Saat peristiwa itu terjadi banyak pengungsi meninggalkan negaranya dengan perahu-perahu dengan kondisi memprihatinkan. Dalam satu perahu bisa ditempati 40-100 orang. Berbulan-bulan para pengungsi terombang-ambing di tengah perairan Laut Cina/Tiongkok Selatan, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan, ada yang terdampar di pulau karang tanpa bahan makanan, dan ada sebagian lagi dapat mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia, seperti Pulau Galang ,Tanjung Pinang, Kepulauan Natuna dan pulau-pulau di kepulauan Riau.

Karena banyak cerita mengenai para pengungsi ini, serta ada yg bahkan di filmkan bagaimana penderitaan para pengungsi itu untuk bertahan hidup selama pengungsian, bahkan di tempat penampungan. Maka sayapun terdorong ingin mengunjungi pulau Galang, di Provinsi Kepualaun Riau, di mana terdapat tempat penampungan sementara bagi para pengungsi. UNHCR dan Pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas di sana, seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah, bahkan penjara, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000 pengungsi. Para pengungsi ini dikonsentrasikan di satu permukiman seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan keamanan. Juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal dengan Vietnam Rose. Di tempat ini, para pengungsi meneruskan hidupnya sepanjang tahun 1979-1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka dari negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam.

Ketika saya dan teman saya sampai di bandara Hang Nadim, Batam, kami menyewa taxi untuk meneruskan perjalanan menuju pulau Galang. Jarak Pulau Galang dari kota Batam sekitar 50 km yg ditempuh sekitar 1,5 jam, dan dalam perjalanan menuju pulau Galang, kami melewati jembatan Barelang, jembatan penghubung pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau Galang. Jembatan megah yang diprakarsai oleh BJ. Habibie. 





Sesampai kami di sana, suasana sepi menyambut kami dengan bangunan-bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Setelah kami melewati pintu gerbang kemudian menyusuri jalan jalan aspal dengan kanan kiri terdapat tanda pengenal jalan dan nama tempat, dan kamipun sampai di sebuah taman yang terdapat sebuah patung, Patung Taman Humanity atau Patung Kemanusiaan. Adapun cerita mengenai patung ini menggambarkan sosok wanita yang bernama Tinhn Han Loai yang diperkosa oleh sesama pengungsi. Karena malu menanggung beban diperkosa, akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Dalam rangka mengenang peristiwa tragis itulah maka patung ini dibuat oleh para pengungsi.

Melanjutkan perjalanan, tidak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave. Di sini, dimakamkan 503 pengungsi Vietnam yang meninggal karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu, depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah., serta wabah penyakit atau endemi saat itu. Suasana yg sepi di areal pemakaman cukup membuat bergidik juga, untung saya tidak sendirian.

Setelah melewati areal pemakaman, kami sampai di Monumen Perahu yang terdiri atas tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan Vietnam. Dengan perahu seperti itulah mereka berbulan-bulan mengarungi lautan hingga sampai di pulau Galang ataupun pulau-pulau lainnya di sekitar Kepulauan Riau. Adapaun perahu-perahu ini adalah perahu-perahu yang diangkat ke daratan dan direnovasi, yang dimana perahu-perahu itu sengaja ditenggelamkan dan bahkan ada yg dibakar oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi. karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan, atau suaka dari negara-negara lain seperti Australia, Perancis, Amerika serikat dan negara yang lainnya. 


 

Setelah dari monumen perahu, kami melanjutkan perjalanan melewati bangunan-bangunan bekas tempat tinggal yang masih tersisa di tempat pengungsian ini. Rasa sedih memenuhi ketika melihat peninggalan yang bersejarah ini, kini tidak begitu terawat, banyak semak belukar, bahkan banyak bangunan yang sudah rusak. Membayang pada saat masa lalu tempat itu ramai dengan pengungsi, bagaikan sebuah kampung kecil. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kehidupan para pengungsi di kamp ini kita dapat mengunjungi museum yang masih menyimpan berbagai peralatan sehari-hari, foto-foto para pengungsi dan juga foto-foto kegiatan yang mereka lakukan.

Selain itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga mushola. Dan tempat-tempat ibadah inipun tidak jauh berbeda dengan bangunan lain yang sudah tidak terawat dan rusak. Hanya Vihara Quan Am TU yang masih terlihat terawat dan masih digunakan. Vihara Quan Am TU merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di situ. Cat bangunan yang berwarna-warni membuat pengunjung dapat mengenalinya dari kejauhan. 


 



Ketika akan masuk ke areal Gereja Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, kita membaca sebuah papan nama gereja serta terdapat juga tulisan 'Galang, Memory of a tragedy past', suatu pesan yang dalam dari tragedy kemanusiaan akibat perang. Sebuah renungan kepedihan betapa akibat dari perang adalah penderitaan bagi sebagian besar rakyat yg menjadi korban, dimana keluarga-keluarga terpisah, anak-anak yang harus di adopsi oleh keluarga dari negara lain. Bahkan beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah email dari seorang wanita Vietnam yang tinggal di Amerika, yg menanyakan alamat dan bagaimana cara menuju ke tempat pengungsian di Pulau Galang, dia ingin berziarah mengunjungi tempat dimana dia pernah tinggal ketika masih kecil, sebelum akhirnya diadopsi oleh keluarga dari Amerika.



Sunday, 12 October 2014

Transit di Incheon Airport, Korea Selatan

Apa yang ada di benak ketika melakukan perjalanan jauh dengan anak kecil dengan waktu transit 6 jam di bandara? Mungkin ada yangg merasa akan sangat cape dan tidak tahu apa yang akan di lakukan selama 6 jam di bandara dengan anak kecil. Dan inilah salah satu pengalaman saya ketika suatu kali melakukan perjalanan pulang ke Indonesia dengan menggunakan penerbangan Korean Air, yang mengharuskan saya transit selama 6 jam di bandara Incheon International airport, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke Jakarta. Menunggu selama 6 jam di bandara bukanlah suatu hal yg menyenangkan, tetapi banyak hal yg ditawarkan oleh bandara international ini bagi para penumpang yg diharuskan transit lama, maka sayapun mulai menjelajahinya....

Bandara ini memiliki lapangan golf, spa, kamar tidur pribadi, ice skating rink, Kasino, Taman dalam ruangan dan sebuah Museum budaya Korea, serta berbagai jenis restaurant dengan cita rasa Eropa dan Asia, dan tidak ketinggalan toko-toko duty freenya, dan tentu saja wifi yang gratis.
Kebetulan saya terbang bersama anak saya yg berumur 1,5 thn, maka sayapun mencari taman bermain anak-anak, dan sungguh luar biasa bahwa di setiap lantai dan sudut bandara ini memiliki taman bermain untuk anak-anak dan beserta sofa untuk menunggu, dan juga toilet khusus untuk ganti popok bayi dan toilet anak-anak. Jadi sayapun tidak terlalu repot membawa anak saya bermain dan tidur sebentar, setelah itu kamipun menuju ke museum budaya Korea, banyak sekali lukisan dan berbagai macam baju traditional Korea yg di pamerkan. Di ruang Korea Cultural kita ditawarkan untuk membuat suatu keramik dari tanah liat, maka anak sayapun bermain membentuk tanah liat berdasarkan imajinasinya. Dan tidak hanya itu, mata kitapun di suguhkan dengan live music Korea yang dimainkan lengkap dengan baju khas Koreanya. 






Setelah selesai pementasan music Korea, tiba-tiba kami mendengar suara gong khas korea dengan trompet yang nyaring, maka mata sayapun mencari sumber suara itu. Ahhhh.... Parade budaya korea lengkap dengan baju traditional raja dan ratu serta tentara dan dayang-dayangnya... sungguh suatu daya tarik yang menarik bagi para penumpang yang menunggu di bandara untuk mengenal budaya korea lebih jauh. Maka sayapun teringat film-film korea yg berlatar belakang zaman para raja-raja dengan baju-baju khas koreanya yang indah.




 

Setelah selesai parade budaya Korea, maka kamipun berjalan menuju gerbang dimana kami akan menunggu pesawat yang akan membawa kami menuju ke Jakarta, di tengah jalan mata saya melihat suatu toko lengkap dengan baju-baju tradisional korea dan saya berpikir untuk melihatnya, dan ternyata itu bukan toko yang menjual baju tradisional korea tetapi baju-baju yang dapat dipakai utk berfoto dengan gratis bagi para penumpang international, hanya dengan menunjukkan tiket penerbangan internationalnya, maka tanpa menunggu lama sayapun berpose dengan anak saya dalam balutan baju khas korea.... 




 
Sungguh banyak hal yang ditawarkan untuk menyenangkan para penumpang yang menunggu lama di bandara ini. Dan saya yang terbang bersama anak sayapun tidak merasa bosan menunggu selama 6 jam di sini. 

Au Revoir  Incheon Airport, Sampai ketemu pada penerbangan berikutnya....