Ketika
saya masih di Sekolah, saya banyak mendengar dan belajar sejarah
tentang ratusan ribu pengungsi Vietnam selatan yang melarikan
diri meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain
pasca perang saudara di Vietnam. Saat peristiwa itu terjadi banyak
pengungsi meninggalkan negaranya dengan perahu-perahu dengan kondisi
memprihatinkan. Dalam satu perahu bisa ditempati 40-100 orang.
Berbulan-bulan para pengungsi terombang-ambing di tengah perairan
Laut Cina/Tiongkok Selatan, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian dari
mereka ada yang meninggal di tengah lautan, ada yang terdampar di
pulau karang tanpa bahan makanan, dan ada sebagian lagi dapat
mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia, seperti Pulau Galang
,Tanjung Pinang, Kepulauan Natuna dan pulau-pulau di kepulauan Riau.
Karena
banyak cerita mengenai para pengungsi ini, serta ada yg bahkan di
filmkan bagaimana penderitaan para pengungsi itu untuk bertahan hidup
selama pengungsian, bahkan di tempat penampungan. Maka sayapun
terdorong ingin mengunjungi pulau Galang, di Provinsi Kepualaun Riau,
di mana terdapat tempat penampungan sementara bagi para pengungsi.
UNHCR dan Pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas di sana,
seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah,
bahkan penjara, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000
pengungsi. Para pengungsi ini dikonsentrasikan di satu permukiman
seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan
penjagaan keamanan. Juga untuk menghindari penyebaran penyakit
kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal
dengan Vietnam Rose.
Di tempat ini, para pengungsi meneruskan hidupnya sepanjang tahun
1979-1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka dari negara-negara
maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam.
Ketika
saya dan teman saya sampai di bandara Hang Nadim, Batam, kami menyewa
taxi untuk meneruskan perjalanan menuju pulau Galang. Jarak Pulau
Galang dari kota Batam sekitar 50 km yg ditempuh sekitar 1,5 jam, dan
dalam perjalanan menuju pulau Galang, kami melewati jembatan
Barelang, jembatan penghubung pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau
Galang. Jembatan megah yang diprakarsai oleh BJ. Habibie.
Sesampai
kami di sana, suasana sepi menyambut kami dengan bangunan-bangunan
yang sudah tidak terawat lagi. Setelah kami melewati pintu gerbang
kemudian menyusuri jalan jalan aspal dengan kanan kiri terdapat
tanda pengenal jalan dan nama tempat, dan kamipun sampai di sebuah
taman yang terdapat sebuah patung, Patung Taman Humanity atau Patung
Kemanusiaan. Adapun cerita mengenai patung ini menggambarkan sosok
wanita yang bernama Tinhn Han Loai yang diperkosa oleh sesama
pengungsi. Karena malu menanggung beban diperkosa, akhirnya ia
memutuskan bunuh diri. Dalam rangka mengenang peristiwa tragis itulah
maka patung ini dibuat oleh para pengungsi.
Melanjutkan
perjalanan, tidak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal
pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave. Di sini, dimakamkan 503
pengungsi Vietnam yang meninggal karena berbagai penyakit yang mereka
derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu,
depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah., serta
wabah penyakit atau endemi saat itu. Suasana yg sepi di areal
pemakaman cukup membuat bergidik juga, untung saya tidak sendirian.
Setelah
melewati areal pemakaman, kami sampai di Monumen Perahu yang terdiri
atas tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan
Vietnam. Dengan perahu seperti itulah mereka berbulan-bulan
mengarungi lautan hingga sampai di pulau Galang ataupun pulau-pulau
lainnya di sekitar Kepulauan Riau. Adapaun perahu-perahu ini adalah
perahu-perahu yang diangkat ke daratan dan direnovasi, yang dimana
perahu-perahu itu sengaja ditenggelamkan dan bahkan ada yg dibakar
oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan
Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi.
karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan, atau
suaka dari negara-negara lain seperti Australia, Perancis, Amerika
serikat dan negara yang lainnya.
Setelah
dari monumen perahu, kami melanjutkan perjalanan melewati
bangunan-bangunan bekas tempat tinggal yang masih tersisa di tempat
pengungsian ini. Rasa sedih memenuhi ketika melihat peninggalan yang
bersejarah ini, kini tidak begitu terawat, banyak semak belukar,
bahkan banyak bangunan yang sudah rusak. Membayang pada saat masa
lalu tempat itu ramai dengan pengungsi, bagaikan sebuah kampung
kecil. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kehidupan para pengungsi
di kamp ini kita dapat mengunjungi museum yang masih menyimpan
berbagai peralatan sehari-hari, foto-foto para pengungsi dan juga
foto-foto kegiatan yang mereka lakukan.
Selain
itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi
pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu,
Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga
mushola. Dan tempat-tempat ibadah inipun tidak jauh berbeda dengan
bangunan lain yang sudah tidak terawat dan rusak. Hanya Vihara Quan
Am TU yang masih terlihat terawat dan masih digunakan. Vihara Quan Am
TU merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di situ.
Cat bangunan yang berwarna-warni membuat pengunjung dapat
mengenalinya dari kejauhan.
Ketika
akan masuk ke areal Gereja Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, kita membaca
sebuah papan nama gereja serta terdapat juga tulisan 'Galang, Memory
of a tragedy past', suatu pesan yang dalam dari tragedy kemanusiaan
akibat perang. Sebuah renungan kepedihan betapa akibat dari perang
adalah penderitaan bagi sebagian besar rakyat yg menjadi korban,
dimana keluarga-keluarga terpisah, anak-anak yang harus di adopsi
oleh keluarga dari negara lain. Bahkan beberapa waktu lalu saya
mendapat sebuah email dari seorang wanita Vietnam yang tinggal di
Amerika, yg menanyakan alamat dan bagaimana cara menuju ke tempat
pengungsian di Pulau Galang, dia ingin berziarah mengunjungi tempat
dimana dia pernah tinggal ketika masih kecil, sebelum akhirnya
diadopsi oleh keluarga dari Amerika.
No comments:
Post a Comment