Tuesday, 14 October 2014

Jejak Pengungsi yang tertinggal di Pulau Galang

Ketika saya masih di Sekolah, saya banyak mendengar dan belajar sejarah tentang ratusan ribu pengungsi Vietnam selatan yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain pasca perang saudara di Vietnam. Saat peristiwa itu terjadi banyak pengungsi meninggalkan negaranya dengan perahu-perahu dengan kondisi memprihatinkan. Dalam satu perahu bisa ditempati 40-100 orang. Berbulan-bulan para pengungsi terombang-ambing di tengah perairan Laut Cina/Tiongkok Selatan, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan, ada yang terdampar di pulau karang tanpa bahan makanan, dan ada sebagian lagi dapat mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia, seperti Pulau Galang ,Tanjung Pinang, Kepulauan Natuna dan pulau-pulau di kepulauan Riau.

Karena banyak cerita mengenai para pengungsi ini, serta ada yg bahkan di filmkan bagaimana penderitaan para pengungsi itu untuk bertahan hidup selama pengungsian, bahkan di tempat penampungan. Maka sayapun terdorong ingin mengunjungi pulau Galang, di Provinsi Kepualaun Riau, di mana terdapat tempat penampungan sementara bagi para pengungsi. UNHCR dan Pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas di sana, seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah, bahkan penjara, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000 pengungsi. Para pengungsi ini dikonsentrasikan di satu permukiman seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan keamanan. Juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal dengan Vietnam Rose. Di tempat ini, para pengungsi meneruskan hidupnya sepanjang tahun 1979-1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka dari negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam.

Ketika saya dan teman saya sampai di bandara Hang Nadim, Batam, kami menyewa taxi untuk meneruskan perjalanan menuju pulau Galang. Jarak Pulau Galang dari kota Batam sekitar 50 km yg ditempuh sekitar 1,5 jam, dan dalam perjalanan menuju pulau Galang, kami melewati jembatan Barelang, jembatan penghubung pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau Galang. Jembatan megah yang diprakarsai oleh BJ. Habibie. 





Sesampai kami di sana, suasana sepi menyambut kami dengan bangunan-bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Setelah kami melewati pintu gerbang kemudian menyusuri jalan jalan aspal dengan kanan kiri terdapat tanda pengenal jalan dan nama tempat, dan kamipun sampai di sebuah taman yang terdapat sebuah patung, Patung Taman Humanity atau Patung Kemanusiaan. Adapun cerita mengenai patung ini menggambarkan sosok wanita yang bernama Tinhn Han Loai yang diperkosa oleh sesama pengungsi. Karena malu menanggung beban diperkosa, akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Dalam rangka mengenang peristiwa tragis itulah maka patung ini dibuat oleh para pengungsi.

Melanjutkan perjalanan, tidak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave. Di sini, dimakamkan 503 pengungsi Vietnam yang meninggal karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu, depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah., serta wabah penyakit atau endemi saat itu. Suasana yg sepi di areal pemakaman cukup membuat bergidik juga, untung saya tidak sendirian.

Setelah melewati areal pemakaman, kami sampai di Monumen Perahu yang terdiri atas tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan Vietnam. Dengan perahu seperti itulah mereka berbulan-bulan mengarungi lautan hingga sampai di pulau Galang ataupun pulau-pulau lainnya di sekitar Kepulauan Riau. Adapaun perahu-perahu ini adalah perahu-perahu yang diangkat ke daratan dan direnovasi, yang dimana perahu-perahu itu sengaja ditenggelamkan dan bahkan ada yg dibakar oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi. karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan, atau suaka dari negara-negara lain seperti Australia, Perancis, Amerika serikat dan negara yang lainnya. 


 

Setelah dari monumen perahu, kami melanjutkan perjalanan melewati bangunan-bangunan bekas tempat tinggal yang masih tersisa di tempat pengungsian ini. Rasa sedih memenuhi ketika melihat peninggalan yang bersejarah ini, kini tidak begitu terawat, banyak semak belukar, bahkan banyak bangunan yang sudah rusak. Membayang pada saat masa lalu tempat itu ramai dengan pengungsi, bagaikan sebuah kampung kecil. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kehidupan para pengungsi di kamp ini kita dapat mengunjungi museum yang masih menyimpan berbagai peralatan sehari-hari, foto-foto para pengungsi dan juga foto-foto kegiatan yang mereka lakukan.

Selain itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga mushola. Dan tempat-tempat ibadah inipun tidak jauh berbeda dengan bangunan lain yang sudah tidak terawat dan rusak. Hanya Vihara Quan Am TU yang masih terlihat terawat dan masih digunakan. Vihara Quan Am TU merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di situ. Cat bangunan yang berwarna-warni membuat pengunjung dapat mengenalinya dari kejauhan. 


 



Ketika akan masuk ke areal Gereja Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, kita membaca sebuah papan nama gereja serta terdapat juga tulisan 'Galang, Memory of a tragedy past', suatu pesan yang dalam dari tragedy kemanusiaan akibat perang. Sebuah renungan kepedihan betapa akibat dari perang adalah penderitaan bagi sebagian besar rakyat yg menjadi korban, dimana keluarga-keluarga terpisah, anak-anak yang harus di adopsi oleh keluarga dari negara lain. Bahkan beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah email dari seorang wanita Vietnam yang tinggal di Amerika, yg menanyakan alamat dan bagaimana cara menuju ke tempat pengungsian di Pulau Galang, dia ingin berziarah mengunjungi tempat dimana dia pernah tinggal ketika masih kecil, sebelum akhirnya diadopsi oleh keluarga dari Amerika.



No comments: