Suatu kali mendapat ajakkan teman untuk mengunjungi daratan tinggi Dieng dibulan Maret yang cerah, maka kami bertigapun berangkat dengan bus dari Rawamangun, Jakarta.
Dataran
tinggi Dieng terletak 30 km dari kota Wonosobo, tepatnya di
perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Dataran
tinggi Dieng merupakan desa tertinggi di pulau Jawa, berdiri di
ketinggian 2.000 m diatas permukaan laut, dengan udara yang sejuk,
serta sering ditutupi kabut tebal. dataran tinggi ini dikelilingi
oleh pegunungan, diantaranya Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung
Perahu, Gunung Rogojembangan, dan Gunung Bismo. Selain keindahan
alamnya, dataran tinggi Diengpun memiliki banyak candi-candi kecil
kuno yang indah yang dinamai tokoh-tokoh cerita epik Mahabrata
seperti, Arjuna, Bima, Gatotkaca, Srikandi, Nakula, Sadewa, dll.
Serta hamparan persawahan dan perkebunan kentang yang berdampingan
dengan kawah yang selalu mengeluarkan asap belerang. Karena
keindahannya yang menakjubkan inilah diyakini bahwa Dieng dipilih
sebagai tempat yang sakral dan tempat bersemayamnya dewa dewi. Nama
'Dieng' sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu 'Di' yang
berarti tempat yang tinggi dan 'Hyang' yang artinya dewa
dewi. Diartikan kemudian sebagai tempat kediaman para dewa dewi.
Sesampai
di terminal Mendolo, kami lanjut dengan bus kecil menuju ke Dieng.
Ketika dalam bus kecil ini, jalan yang berkelok-kelok serta goyangan
bus yang lumayan bergetar, tidak mengganggu kami yang terpesona akan
indahnya pemandangan alam yang tersaji disepanjang jalan. Rasa cape
badan ini setelah semalaman dalam bus dari Jakarta tergantikan rasa
kagum akan keindahan alam yang menyejukkan mata.
Ketika
bus berhenti di akhir tujuan yaitu di pertigaan Dieng, kamipun
langsung menuju ke Hotel Bu Jono, dimana kami menginap. Dan tanpa
menunggu lama, kamipun mulai menjelajahi dataran tinggi yang cantik
ini.
Narsis depan hotel Bu Jono
Begitu
banyak yang ditawarkan oleh dataran yang indah ini, kamipun membuka
list, dan tujuan pertama jatuh pada Sumur Jalatunda, sumur tua yang
terkenal dengan beraneka macam mitosnya. Kamipun menyewa ojeg motor,
yang selalu stand by depan hotel. Pemandangan sepanjang jalan dengan
hamparan perkebunan milik warga dan juga kanal pengolahan panas bumi
milik PT. Geodipa sungguh tidak membosankan. Dan kamipun berhenti
sebentar untuk menikmati perkebunan kentang dengan latar belakang
kawah Sileri yang mengepulkan asap belerang.
Pemandangan kawah Sileri dgn perkebunan kentang
Kentang Siap diangkut
Untuk
sampai ke sumur Jalatunda, kami perlu menaiki 257 anak tangga.
Dipuncak tangga terdapat sebuah pendopo dan juga beberapa anak yang
menjual batu kerikil dalam kantong plastik. Konon, menurut
kepercayaan masyarakat setempat, bahwa mereka yang mampu melempar batu
kerikil ke sumur sejauh jarak tertentu, akan mendapatkan
keberuntungan dan terkabul niat serta keinginannya. Kamipun membeli
sekantong plastik batu kerikil tersebut dan mencoba keberuntungan
kami. Tetapi setiap kali saya mencoba melempar batu ke sumur dengan
diameter 90 meter dengan kedalaman ratusan meter tersebut, batu yang
saya lempar selalu jatuh di tepian yang ditumbuhi dengan berbagai
macam tanaman, rasanya sudah sekuat tenaga melempar, tetap susah
untuk mencapai ditengah-tengah sumur, hingga satu kantong plastik
batu kerikilpun habis. Yah mungkin belum makan siang, jadi tenaga
masih kurang (alasan untuk hibur diri he he he...), dan kamipun turun untuk
lanjut ke list berikutnya.
Sumur Jalatunda
Ketika
kami melihat suatu pemandian air panas masyarakat setempat, kaki
kamipun berhenti untuk merasakan hangatnya air di kolam persegi yang
putih susu. Terdapat beberapa anak-anak serta orang dewasa sedang
mandi dan bercanda di Pemandian air panas Pulo Sari ini, kamipun
menikmati setiap canda dan tawa dari masyarakat setempat yang sambil
tersenyum melihat tingkah kami yang sedang asyik bernarsis ria. Di
samping pemandian, terdapat sebuah kali dengan aliran air yang cukup
deras. Setelah itu, kamipun berlalu melanjutkan perjalanan ke danau Mardada.
Pemandian air panas Pulo Sari
Kali disamping pemandian air panas Pulo Sari
Danau
Mardada merupakan danau terluas di dataran tinggi Dieng. Danau ini
tidak memiliki sumber mata air, seluruh air yang
menggenangi telaga ini merupakan tampungan air hujan. Tidak begitu
banyak yang bisa dinikmati di danau ini, jadi kamipun beranjak ke
kompleks candi Arjuna.
Danau Mardada
Kompleks
candi Arjuna merupakan candi Hindu tertua di pulau Jawa, dibangun
pada 809 M, dan merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa. Kompleks ini
terdiri dari 5 candi, yaitu candi Arjuna, candi Semar, candi
Sembadra, candi Srikandi, dan candi Puntadewa. Candi-candi ini
terbuat dari batu andesit dan tidak banyak relief pada dindingnya,
hanya relief Dewa Trimurti yaitu, Siwa, Wisnu dan Brahma yang
dipahatkan di candi Srikandi. Ketika kami sedang asyik berfoto ria,
datang rombongan anak-anak sekolah dengan baju olah raga. Kamipun
mengajak bercanda dan bernarsis bersama. Bercanda dengan anak-anak
Dieng yang lucu-lucu ini membuat perjalanan kami semakin menyenangkan.
Anank-anak Dieng
Asyiknya bercanda dgn anak-anak Dieng
Hanya Candi Srikandi yg mempunyai relief
Setelah
bermain di kompleks Arjuna kamipun kembali ke hotel yang tidak jauh
jaraknya. Saat sedang duduk
santai di ruang tamu, datang seorang pegawai losmen yang
memperkenalkan buah carica. Awalnya saya pikir itu buah pepaya,
tetapi ketika saya sentuh, rasanya keras, bau harum dan rasanya
asam, masyarakat Dieng menyebutnya carica, yang masih satu famili
dengan pepaya, yang juga disebut pepaya gunung. Buah ini biasa
dijadikan sirup, jus, manisan dan juga selai dan menjadi salah satu
oleh-oleh khas dari Dieng.
Buah Carica
Tanpa
terasa perut kamipun mulai keroncongan, akhirnya kami menemukan rumah
makan yang tidak begitu jauh dari hotel. Selesai menikmati makan
malam, kamipun berjalan-jalan sambil menikmati matahari terbenam
diantara perbukitan dengan pemandangan persawahan, rumah penduduk
serta sebuah mesjid yang tidak jauh letaknya. Sungguh tidak lelah
mata ini menikmati keindahan alam Dieng dengan segala aktifitas penduduknya yang ramah.
Langit Sore
Keesokkan
harinya jam 04.00 subuh kami dibangunkan oleh pegawai hotel yang
akan menjadi guide kami menuju ke puncak Sikunir yang tingginya 2.500
meter dpl, untuk menyaksikan matahari terbit diantara pegunungan,
yang terkenal dengan golden sunrise-nya. Sesampai di desa Sembungan,
dari sana perjalanan dilanjutkan dengan mendaki, kami mendaki di
jalan setapak yang menanjak dengan tingkat kecuraman hampir 90
derajat, di sisi jalan terlihat jurang menganga, untung hari masih
gelap, jadi rasa takut ketinggian tertutupi oleh kegelapan. Perlu
perjuangan dan stamina yang fit untuk sampai di puncak Sikunir,
dengan suhu udara yang dingin seperti musim dingin di Perancis, jaket
yang saya pakai terasa belum cukup melindungi tubuh dari dinginnya
angin yang menggigit.
Akhirnya
kamipun sampai di puncak dengan kaki yang gemetaran dan lutut yang
lunglai. ternyata tidak hanya kami saja yang memburu golden sunrise
ini, terdapat beberapa rombongan lain yang tiba lebih dulu. Semuanya
sudah siap dengan kameranya masing-masing.
Ketika
semburat warna merah oranye menembus di langit, diantara kegelapan,
yang seakan-akan membangunkan alam dari mimpinya, sungguh suatu
pemandangan yang mengagumkan. Dan akhirnya muncullah sang mentari
dengan warna kemerahan, dan berubah kekuningan diantara awan-awan,
dengan deretan gunung Sindoro dan Merapi yang hampir tertutup awan.
Semua rasa lelah tergantikan decak kagum akan keindahan alam dari
puncak Sikunir yang menawan, ahhhh seperti inikah rasanya negeri
awan? Entahlah, yang pasti kami telah terpesona akan keindahan alam
ciptaan Sang Maha Kuasa.
pemandangan dr Sikunir
Selesai
menyaksikan matahari terbit di puncak Sikunir, kamipun melanjutkan
perjalanan ke Kawah Sikidang, ketika sedang berjalan turun, dari jauh saya melihat sebuah
telaga dengan bentuk yang unik, dan pemandu kami mengatakan itu
adalah telaga Cebong, berasal dari kata kecebong. Dan saya perhatikan
memang mirip kecebong, unik ya?
Danau Cebong
Saat
sampai di areal kawah, pemandangan alam hijau hutan dan persawahan
hilang diganti dengan pemandangan hamparan tanah tandus kuning
kecoklatan dengan kolam yang terus menerus mengepulkan asap. Ketika
kaki menginjak di pintu masuk ke kawah ini, bau belerang langsung
menyambut kedatangan kami. Konon kawah Sikidang ini selalu
berpindah-pindah tempat, dan berjalan di kompleks ini cukup
mendebarkan, karena kami harus melompat-lompat dan mencari tanah yang
kering untuk menjejakkan kaki, dikarenakan tanah-tanah di kawah ini
cukup rapuh dan mudah longsor, serta lubang-lubang bekas kawah
terdapat di mana-mana. Dan akhirnya kami sampai di kawah Sikidang,
sebuah kolam besar dengan air bercampur lumpur abu-abu yang terus
menggelegak dan tentu saja dengan asap belerang yang sangat menusuk
hidung. Karena saking banyaknya asap belerang, kita tidak bisa
melihat ujung kolam ini, dan disekeliling kolam dipasangi pagar bambu
demi keselamatan para pengunjung.
Kami tidak tinggal lama di sini, karena tidak tahan dengan asap belerang dan
baunya yang menusuk hidung, kamipun berlalu ke sebuah warung kecil
untuk sarapan pagi. Warung ini menyediakan gorengan yang segar, ada
tahu, tempe, pisang dan juga mie resbus, serta tidak lupa kopi dan
teh khas Wonosobo. Sayapun memesan mie rebus sebagai sarapan yang
cukup menghangatkan badan di pagi yang cukup dingin ini.
Kawah Sikidang
Asap belerang dr kawah Sikidang
Narsis dgn rombongan yg ktm di puncak Sikunir
Warung dekat kawah Sikidang
Selesai
sarapan, perjalanan lanjut ke candi Bima, yang terletak di
persimpangan jalan menuju ke kawah Sikidang dan komplek candi Arjuna.
Candi Bima terletak menyendiri diatas bukit, candi ini merupakan
bangunan terbesar diantara kumpulan candi di Dieng.
Candi Bima
Puas mengelilingi candi Bima, kamipun meneruskan
perjalanan menuju ke telaga Warna, sang primadona Dieng. Ketika
hampir sampai di telaga Warna, kamipun diharuskan mendaki lagi, untuk
mencari lokasi yang bisa melihat keseluruhan telaga ini. Jalanan yang
harus kami daki cukup licin dan sempit. Kamipun melewati rimbunnya
pepohonan serta semak-semak yang harus kami terobos, hingga akhirnya
sampailah di puncak dimana keindahan telaga ini tersaji di depan
mata. Tidak sia-sia hasil perjuangan demi melihat keindahan sang
primadona daratan tinggi Dieng ini. Dari sini kami menyaksikan
keindahan telaga Warna dengan warna-warna yang cantik, hijau pucat
di tengah telaga dan kecoklatan di tepian telaga, serta hijau tua di
telaga Pengilon yang terletak bersebelahan dengan telaga warna, yang
hanya di batasi rerumputan saja.
Telaga Warna
Walaupun
keindahan warna di telaga ini tidak sewarna-warni seperti foto yang
kami lihat di hotel, tetap saja keindahan telaga ini mengagumkan. Di
sisi lain dari telaga, terdapat perbukitan yang berubah menjadi perkebunan kentang yang
berundak-undak, dan dikejauhan terlihat gunung Merapi yang tertutup
awan dipuncaknya. Sejauh mata memandang, pemandangan yang tersaji
selalu mengundang decak kagum.
Pemandangan sebelah kiri dr Telaga Warna
Setelah
itu kamipun mendekati hingga ke bibir telaga, untuk melihat lebih
jelas warna air telaga ini. Adapun fenomena warna telaga ini terjadi
karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat
sinar matahari mengenainya, maka warna air telaga nampak berwarna
warni.
Telaga Warna dr dekat
Terakhir
sebelum kami meninggalkan Dieng untuk menuju ke Borobudur, kami
berhenti di Wonsobo untuk makan siang di warung Pak Muhadi dengan
makanan khas Wonosobo, mie ongklok sate, rasanya cukup menggoyang
lidah. Dan tidak lupa kami juga mengunjungi perkebunan teh yang ada
di sepanjang jalan. Berfoto di hamparan pohon teh yang telah diambil
pucuknya serta membeli beberapa produk teh khas Wonosobo. Rasanya
perjalanan 2 hari satu malam terasa kurang untuk menjelajahi seluruh
Dieng yang indah. Berharap datang kembali menikmati sunrise yang
spektakuler di puncak Dieng yang lainnya dan menjelajahi kawah-kawah
serta gua-gua yang belum sempat kami kunjungi, serta tidak lupa akan senyuman dan keramahan penduduk Dieng.
Perkebunan teh
Mie Ongklok sate
2 comments:
Dieng selalu indah, alamnya asri dan hijau
@Tira Soekardi iya, alamnya benar2 indah dan juga peninggalan sejarahnya banyak....
Post a Comment