Pulau
Lombok, siapa yang tidak kenal pulau satu ini, tetangga dari pulau
Bali. Pulau dengan luas 4.725 km² ini tidak hanya terkenal dengan
gunung Rinjaninya, tetapi terkenal juga dengan keindahan bahari dan
budayanya. Termasuk juga gugusan kepulauan di sisi Barat lautnya
yaitu Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan.
Perjalanan
dari Bandara International Lombok menuju ke Pantai Senggigi dimana
saya menginap dapat ditempuh dengan taxi ataupun dengan Damri dengan
membayar Rp.35.000, sekitar satu jam lebih. Dan ketika mobil yang
saya tumpangi mulai memasuki wilayah Senggigi, dari jauh saya sudah
melihat keindahan pantai ini. Beberapa nelayan sedang menarik jaring
dari laut hingga ke pantai, dan juga beberapa turis sedang berjalan
menyusuri pantai., Dan rasanya tidak sabar ingin cepat sampai di
hotel lalu menginjakkan kaki di pantai yang indah ini. Setelah
meletakkan tas dan ransel di hotel, tanpa menunggu lama sayapun mulai
menyusuri pantai. Ketika hari mulai senja dan matahari mulai kembali
ke peraduannya, sayapun berharap dapat menikmati pemandangan sunset
di pantai ini, tetapi sayang, pemandangan matahari terbenam terhalang
oleh perbukitan, jadi saya hanya menikmati bias dari cahaya sang
surya saat kembali ke peraduannya.
Dalam
perjalanan kembali ke hotel, saya menemukan banyak restauran dan cafe
sepanjang jalan Senggigi, semakin malam semakin ramai. Dan sayapun
mencoba salah satu restaurant di sepanjang jalan ini. Selesai
menikmati makan malam, saya kembali ke hotel dengan naik cidomo,
walau hampir sama dengan kereta kuda di Jogja, tetapi cidomo design
interior lebih seperti angkot. Sesampai di hotel, sayapun langsung beristirahat, karena esok hari akan menjelajah ke kawasan selatan Lombok.
Hari
kedua, setelah sarapan di hotel, sayapun mulai menuju ke list
berikutnya, Pantai Tanjung Aan dan pantai Kuta, yang terletak di
selatan pulau Lombok. Perjalanan ke pantai Kuta dari Senggigi sekitar
1- 2 jam dengan mobil ataupun motor. Pantai kuta di Lombok sangatlah
berbeda dengan pantai Kuta di Bali. Pantai Kuta di Lombok lebih sepi,
tidak terdapat deretan hotel dan pantainyapun lebih bersih.
Sebelum
sampai di Pantai Kuta, saya mampir di desa Banyumulek, sebuah desa
penghasil kerajinan gerabah. Kerajinan ini di
turunkan dari generasi ke generasi, dan desa Banyumulek merupakan
salah satu tempat wisata yang diminati oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Ketika kaki
mulai masuki desa ini, pemandangan gerabah dari ukuran kecil hinggaa
setinggi manusia terdapat di mana-mana. Tidak hanya di rumah
penduduk, tetapi juga terdapat di balai desa, dan sekolah, sehingga
kesan desa sentra gerabah sangat kental di sini.
Di
sepanjang jalan desa terdapat banyak galeri dan toko di sisi kiri
kanan jalan, dan koleksinyapun cukup lengkap, gerabah dengan berbagai
ukuran, bentuk, warna, motif hiasan serta berbagai jenis fungsi dari
gerabah itu sendiri. Dan hasil gerabah dari desa Banyumulek tidak
hanya bermain di pasar nasional saja, tetapi sudah merambah hingga ke
manca negara seperti New Zealand and beberapa negara Eropa.
Setelah
menikmati gerabah di sebuah galeri sayapun lanjut ke sebuah rumah
penduduk untuk melihat langsung pembuatan gerabah. Hampir di depan
setiap rumah terdapat tanah liat yang sedang di jemur ataupun masih
dalam karung. Ketika masuk ke sebuah rumah, seorang wanita muda
sedang memoles sebuah gentong dengan ukuran besar yang sudah jadi.
Sepertinya ia sedang memuluskan permukaan gentong. Lalu saya
berjalan ke ruangan lain, dimana seorang perempuan muda juga sedang
membentuk vas bunga ukuran cukup besar, sambil sekali-kali diputar
dan di tempel dengan tanah liat, sungguh cekatan sekali. Dan di ruangan lain seorang wanita cukup
berumur sedang memoles sebuah wajan. Sepertinya ini adalah bagian
finishing sebelum masuk ke pembakaran. Dan di bagian luar rumah
terdapat sebuah tempat pembakaran yang sangat serderhana, masih
dengan sistem pembakaran dengan daun-daun kering. Walalupun terlihat
sangat sederhana pembuatannya, tetapi cukup rumit dan usaha yang
cukup keras hanya untuk hasilkan sebuah gerabah. Di akhir
kunjungan, sayapun membeli beberapa gerabah dekorasi dinding dan kendi.
Setelah
dari desa Banyumulek, sayapun lanjut ke desa Sukarara, sebuah desa
penghasil kain tenun traditional Lombok. Bila di desa Banyumulek, sepanjang
jalan yang terlihat kerajinan gerabah, nah kali ini yang terpampang
di setiap rumah dan bale adalah kerajinan kain tenun dengan berbagai
ukuran dan corak, sungguh indah sekali. Dan sayapun bertemu seorang
wanita muda sedang menenun diatas bale depan rumahnya, sedangkan di
dalam rumah adalah galeri hasil kain tenun.
Sayapun sangat menikmati cara kerja wanita ini, bagaimana dia duduk
berjam-jam untuk menenun dan menghasilkan sebuah kain yang indah. Dan
karena penasaran sayapun mencoba menenun, duduk dengan pinggang
ditopang sebuah kayu, memutar benang dengan berbagai warna, lalu
memukulkan kayu untuk merapatkan benang. Ahhhhh sungguh rumit dan
penuh ketelitian serta kesabaran untuk menenun secara tradisional,
dan sayapun berpikir, berapa hari atau bahkan bulan hanya untuk
hasilkan sebuah kain tenun? Sungguh salut akan keuletan para penduduk
di desa Sukarara ini. dan seorang turis manca negarapun mencoba menenun, dan dia terlihat sangat serius dan akhirnya menyerah juga.
Ada
beberapa macam motif kain tenun Lombok, diantaranya, motif Keker,
Serat Penginang, Cungklik, dan lain sebagainya. Dan sayapun mencoba
pakaian tradisional yang indah dan kaya warna ini, dan tentu saja tidak lupa membeli beberapa kain tenun untuk taplak meja yang cukup
unik dan cantik. Perjalanan dilanjutkan mengelilingi disekitar
desa, dimana-mana pemandangan warga desa sedang asyik bercengkrama
tetapi disambi dengan bertenun. Pemandangan penduduk lokal yang
harmoni antara kehidupan sehari-hari dengan pekerjaan sehari-hari,
sungguh suatu kehidupan masyarakat yang akrab.
Setelah
puas menikmati pemandangan kehidupan penduduk desa Sukarara, saya
lanjut menuju ke desa Sade, suatu desa tradisional dengan kehidupan
suku Sasak. Di depan pintu masuk utama terdapat papan nama dengan
atap khas rumah Sasak yang tertulis, 'Welcome to Sade, Rembita'.
Setelah kami memberi sumbangan sukarela untuk biaya masuk ke desa
ini, kakipun melangkah dan melewati deretan rumah-rumah yang dibangun
dengan sangat sederhana, beratap ilalang dan berdinding anyaman
bambu. Dan hampir di setiap rumah penduduk menjual berbagai
cinderamata khas Lombok, kain tenun dengan berbagai fungsi, gelang,
kalung, dekorasi rumah dan lain sebagainya.
Dan
ketika saya masuk ke salah satu rumah penduduk dimana berlantai tanah
liat, saya harus menunduk karena bangunan rumah yang pendek. Dan
secara turun temurun cara pembuatan rumah suku Sasak masih
terpelihara dengan baik, dimana lantai terbuat dari tanah liat yang
dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Rumah yang berukuran 7
X 5 meter ini dibagi dalam dua ruangan, bale luar dan bale dalam.
Bale luar digunakan sebagai ruang tamu dan tempat tidur laki-laki.
Dan antara bale luar dan bale dalam terhubung dengan anak tangga yang
berjumlah tiga, yang bermakna Wetu Telu dimana menurut kepercayaan
suku Sasak hidup manusia itu termaknai dalam 3 tahapan yaitu lahir,
berkembang dan mati. Di bale dalam ini terdapat tungku untuk memasak
dan ruangan tidur untuk perempuan yang juga digunakan untuk ruangan
melahirkan. Bale dalam tidak memiliki jendela dan penerangannya hanya
berasal dari lampu yang terletak di pojok ruangan.
Usai
keliling desa Sade, sayapun melanjutkan perjalanan menuju ke Tanjung
Aan.
Sebelum
masuk ke Tanjung Aan, saya mampir di sebuah warung untuk makan siang,
dan menu yang saya pesan tentu saja plecing kangkung dan ayam bakar
taliwang. Setelah perut terisi, lanjut menuju ke pantai. Sebelum
mencapai ke pantai, saya langsung diserbu para ibu-ibu penjual kain
dan cinderamata. Bukan hanya satu atau dua penjual yang mengelilingi
saya, tetapi lebih dari 6 orang. Dan sayapun akhirnya membeli
beberapa kain hiasan dinding dan bufet yang berwarna warni. Mungkin
bagi banyak wisatawan hal ini agak risih, tetapi bila kita berbincang
dengan mereka dan kita akan tahu bahwa mata pencaharian mereka hanya
dengan menjual hasil karya cinderamata dan kaos-kaos kepada
wisatawan yang datang. Dan para ibu-ibu penjual ini sangat ramah dan
suka melucu... Sayapun senang bercanda dengan mereka.
Ketika
sampai di pantai Tanjung Aan, pemandangan laut hijau kebiruan, pantai pasir putih kekuningan,
serta beberapa bukit terpadu sangat indah. Pantai yang bersih, air
laut yang bening serta pasir yang berbeda dengan pasir di pantai lain.
Butiran pasir yang berbentuk bulat sebesar biji merica sungguh
mengagumkan. Dan saat kaki menginjak di pasir ini, sebagian kaki
langsung tenggelam masuk ke dalam pasir. Dan tidak hanya itu saja,
rupanya di pantai ini terdapat juga pasir putih yang sangat halus
seperti tepung, dan antara pantai pasir merica dan pantai pasir
tepung hanya dipisahkan oleh sebuah tanjung, unik ya.
Dan karena keunikkan pasir merica ini, maka menjadi peluang usaha warga sekitar, anak-anak lokal menjajakan pasir merica ini dalam botol air mineral seharga Rp.10.000.
Dan di
Pantai Kutapun memiliki pemandangan yang sama indahnya, hanya di
pantai Kuta sudah agak ramai turis. Antara pantai Tanjung Aan dan
pantai Kuta masih saling terhubung dengan garis pantai yang sama.
Dipantai
Kuta dan Tanjung Aan, para turis bisa berenang ataupun snorkeling,
dan karena saya tidak membawa baju ganti, jadi hanya berjalan sambil
menikmati indahnya pantai yang masih asri ini. Dan saya sangat menikmati keelokkan pantai Tanjung Aan dari puncak bukit yang menjorok ke laut, serta pemandangan penduduk lokal yang sedang mencari binatang laut di sela-sela bebatuan.
Ahhhhh sutau tempat yang memberi ketenangan dan keindahan alam yang tiada taranya.
Setelah
dari Pantai Tanjung Aan dan pantai Kuta, sayapun kembali ke hotel, karena besok akan
menjelajahi pulau-pulau di sisi barat Lombok.
2 comments:
suka dgn tulisanmu mba. makasih. Aku masih ingat bgt di pantai Kuta Lombok, diikutin terus sama mba2 dan ibu2 penjual sarung, selendang dan kain mereka, akhirnza za beli jugaa..hahhahah
@Fatmawati Stuby
Hahahahaha.... ga tahan beli juga yah.... tapi yah hanya itu mata pencahariannya... bisa dimaklumin juga sih.
Post a Comment