Ngebolang ke negeri pelaut, Makassar, adalah suatu
perjalanan yang sangat berkesan bagi saya. Sebuah kota yang sudah terkenal dari
jaman dulu hingga kini sebagai pelaut ulung, pemberani dan gagah perkasa. Mereka berlayar hingga ke Afrika, pulau Madagascar, China,
Australia, menguasai Malaka dan Pasifik. Mereka tidak memakai kompas, tetapi
dengan petunjuk bintang untuk menemukan jalan, dan ramalan dari air laut. Dan
mereka selalu menemukan jalan yang benar hanya dengan mencium dari air laut. Merekalah
sang pembuat Phinisi yang telah mendunia itu.
Ketika burung besi
yang membawa saya sampai di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar atau Sultan
Hasanuddin International Airport, sayapun sudah tidak sabar untuk menjelajahi
kota dengan legenda pelautnya ini. Adapun bandara ini merupakan salah satu
bandara yang cukup besar dan bersih, dengan arsitektur yang cukup unik. Setelah
keluar dari bandara sayapun naik taxi menuju ke hotel.
Setelah meletakkan
semua barang di hotel, jam menunjukkan pukul 11:00 pagi, maka tanpa menunggu
sayapun mulai menjelajahi kota ini. Pertama yang saya tuju tentu saja Fort
Rotterdam, benteng peninggalan kesultanan Gowa dan Belanda yang paling terkenal
di Makassar. Benteng yang terletak di dalam kota ini sangat mudah dikenali,
karena arsitektur bangunan yang serba kemerahan dan tentu saja dengan ciri yang
bernuansa Belanda. Benteng yang yang menjadi saksi Sejarah Makassar ini
bentuknya menyerupai penyu, orang
Makassar dahulu menyebutnya Benteng Payyua (Benteng Penyu) karena filosifi
Penyu yang bisa Hidup didarat maupun di Laut.
Masuk ke dalam
benteng ini tidak dikenakan biaya, hanya sumbangan suka rela saat mengisi buku
tamu saja. Benteng ini dibangun oleh Raja Gowa ke-X, Imanrigau Daeng Bonto
Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng pada tahun 1545. Awalnya
benteng ini berbentuk segi empat, seperti halnya arsitektur benteng gaya
Portugis, dan bahan dasarnya campuran batu dan dan tanah liat yang dibakar
hingga kering. Kesultanan Gowa yang pernah Berjaya pada abad ke-17 ini memiliki
17 buah benteng yang mengitari seluruh kota.
Dan benteng Fort Rotterdam
merupakan benteng yang paling megah diantara benteng lainnya, dan keasliannya
masih terpelihara hingga kini.
Benteng ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda, ketika Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Admiral Cornelis Janszoon Speelman menyerang kesultanan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Selama satu tahun penuh Gowa diserang, dan serangan ini juga mengakibatkan sebagian benteng hancur. Akibat kekalahan ini Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Gubernur Jenderal Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sebagian hancur dengan model arsitektur Belanda. Bentuk benteng yang tadinya berbentuk segi empat dengan empat bastion, ditambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Nama benteng kemudian dinamakan Fort rotterdam, yang merupakan nama tempat kelahiran Speelman.
Sejak saat itu benteng Rotterdam berfungsi sebagai pusat perdagangan dan penimbunan hasil bumi dan rempah-rempah, sekaligus pusat pemerintahan Belanda diwilayah Timur Nusantara.
Benteng yang dilihat dari udara seperti penyu yang merangkak ke laut ini mempunyai 5 bastion, yaitu Bastion Bone yang terletak disebelah barat dan merupakan kepala penyu, Bastion Bacam, Bastion Butan, Bastion Mandrasyah dan Bastion Amboina.
Selama dalam benteng ini, saya sangat mengagumi tiap bangunan yang masih kokoh. dan di dalam benteng juga terdapat sebuah museum yang menyimpan berbagai benda kuno peninggalan Bugis-Makassar, Museum La Galigo. Tiket masuk ke museum adalah Rp.3.000,- untuk dewasa dan Rp.2.000,- untuk anak-anak.
Setelah puas berkeliling di Benteng Rotterdam, sayapun melanjutkan perjalanan berikutnya, Pelabuhan Paotere. Tak terasa hari sudah melewati jam makan siang, pantesan perut saya menjerit-jerit minta diisi, maka sayapun mampir di sebuah restoran seafood. Memesan ikan bakar baronang, cah kangkung dan sayur asem, tidak lupa makanan khas Bugis Makassar, gogoso, sejenis lemper dari ketan.
Setelah perut terisi,
maka sayapun lanjut ke pelabuhan Poatere. Sesampai di pelabuhan ini,
pemandangan yang terlihat adalah deretan kapal-kapal kecil serta kapal tradisional
phinisi hilir mudik dengan tiang-tiang kapal yang menjulang ke angkasa. Aktifitas
di pelabuhan ini sungguh sibuk, bongkar muat barang dari ratusan kapal phinisi
yang berlayar di kawasan Indonesia timur dan juga kesibukkan para penumpang
kapal motor tradisional yang akan ke pulau atau daerah lainnya di Sulawesi
Selatan. Tidak hanya aktifitas bongkar muat dan kesibukkan para penumpang,
tetapi terdapat juga penjualan ikan segar hasil tangkapan laut.
Melihat keindahan kapal phinisi ini
mengingatkan saya akan pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta. Ketika melihat semua
kapal-kapal phinisi yang terkenal ini, imajinasi saya melayang ratusan tahun
lalu saat para pelaut Bugis menjelajahi lautan hingga ke negeri nan jauh
seperti Afrika dan wilayah Pasifik. Tidak heran bila sebuah lagu anak-anakpun
diciptakan akan kehebatan bangsa Indonesia di lautan, “Nenek Moyangku Seorang
Pelaut”.
Dan sebelum matahari
terbenam sayapun buru-buru meninggalkan keperkasaan kapal-kapal phinisi yang menawan
menuju ke Pantai Losari, pantai kebanggaan kota Makassar. Dikatakan
bahwa pemandangan matahari terbit dan matahari terbenam sangatlah indah. Tetapi
sayang, saya agak terlambat sampai di pantai ini, saya hanya menikmati sisa
bias sinar mentari yang telah pulang keperaduannya. Tetapi keindahan warna
merah dan lembayung dari sisa sinar matahari di langit pantai Losari sungguh
menawan. Saya hanya bisa duduk dan menikmati indahnya pantai yang dihiasi warna
langit nan memukau.
Setelah puas
menikmati alam pantai, haripun sudah gelap, dan sayapun kembali ke hotel. Dan
tentu saja sebelum kembali saya sempatkan makan malam dengan hidangan laut yang
sungguh menggoyang lidah. Dan tidak lupa dengan penutup pisang epe nan terkenal
itu. Ahhh hari yang begitu lelah tetapi indah.
Esok harinya, setelah
sarapan di hotel, sayapun berburu waktu berkeliling kota Makassar sebelum
melanjutkan jelajah ke air terjun Bantimurung. Selama berkeliling kota
Makassar, melihat kesibukkan dalam kota Makassar, hingga ke China Town. Lalu sayapun bertemu sebuah patung sepak takraw yang serba putih tetapi menampakkan kegesitannya bermain bola takraw, sebuah cabang olahraga tradisional yang terkenal di Makassar.
Setelah puas keliling
kota, sayapun lanjut menuju ke air terjun Bantimurung yang terletak di taman
nasional Bantimurung, kabupaten Maros, sekitar 50km dari kota Makassar. Adapun
kata Bantimurung berasal dari dua kata bahasa bugis; Benti berarti air, Merrung berarti
menderu mengandung makna air menderu. Selain itu Bantimurung merujuk pada kata
Banting Murung atau menghancurkan kegelapan, dan kegelisahan seseorang, berarti
pengunjung dapat melepaskan kesedihan dan kegelisahan atau pikiran dengan
memandangi alam. Untuk sampai ke air terjun Bantimurung, kita dapat naik kendaraan
umum “pete-pete” dari sudiang ke di Maros dengan tarif Rp. 6000/ orang, kemudian transit di pasar Maros
melanjutkan menggunakan pete-pete jurusan Bantimurung dengan tarif Rp. 7000/ orang. Tetapi karena saya tidak
mempunyai waktu banyak, maka sayapun menyewa mobil untuk menghemat waktu,
karena malamnya saya akan lanjut naik bus menuju ke Tana Toraja.
Sebelum masuk ke kawasan air terjun, saya melewati deretan penjual kupu-kupu yang diawetkan. Sungguh indah kupu-kupu yang dipajang di setiap toko, dari ukuran kecil hingga besar dan beraneka jenis dan warna. Dengan tarif Rp.10.000 - Rp.15.000,- (sekarang harga sudah naik hingga rp.25.000,-), sayapun melenggang masuk ke kawasan nan sejuk ini. Setelah berjalan beberapa saat, sampailah saya di air terjun Bantimurung.
Sebelum masuk ke kawasan air terjun, saya melewati deretan penjual kupu-kupu yang diawetkan. Sungguh indah kupu-kupu yang dipajang di setiap toko, dari ukuran kecil hingga besar dan beraneka jenis dan warna. Dengan tarif Rp.10.000 - Rp.15.000,- (sekarang harga sudah naik hingga rp.25.000,-), sayapun melenggang masuk ke kawasan nan sejuk ini. Setelah berjalan beberapa saat, sampailah saya di air terjun Bantimurung.
Tetapi
alamakkkk…. Banyak sekali pengunjung di air terjun ini, dari anak kecil hingga
orang tua. Mereka asyik berenang atau seluncuran dengan ban dari atas batu landai
yang dialiri air terjun hingga ke danau alami di bagian bawah. Air terjun ini
tidak tinggi tetapi lebar dengan debit air yg cukup deras, dengan air terjun
yang jatuh mengairi batu besar yang seperti papan luncur alami. Sayapun hanya
menikmati keasyikkan masyarakat yang meluncur ataupun berenang di sekitar air
terjun.
Lalu sayapun naik
tangga batu menuju ke atas dimana sungai Bantimurung mengalirkan airnya,
tiba-tiba saya dihampiri seorang bocah laki-laki berumur sekitar 12 tahun yang
menawarkan jasa guide. Saya meihat bocah yang ramah ini dan sayapun setuju. Dan
diapun membawa saya menyusuri aliran sungai Bantimurung, melihat masyarakat
yang asyik terjun ke sungai ataupun memanjat pohon. Lalu diapun membawa saya
menuju ke kawasan untuk melihat kupu-kupu. Begitu banyak sekali kupu-kupu di
wilayah ini, tidak heran bila Alfred Russel Wallace seorang peneliti dari
Inggris menjuluki wilayah ini “The Kingdom of Butterfly” (Kerajaan Kupu-kupu),
yang menghabiskan sebagian hidupnya (antara tahun 1856-1857) di kawasan tersebut untuk meneliti berbagai jenis
kupu-kupu. Dan menurutnya sedikitnya terdapat 250 spesies kupu-kupu yang hidup
di kawasan ini. Dan terdapat beberapa jenis kupu-kupu langka yang dilindungi dan hanya
terdapat di wilayah Sulawesi Selatan saja.
Setelah puas memandangi
berbagai jenis kupu-kupu dan danau kassi kebo, sebuah danau yang indah dengan air berwarna kehijauan, lalu guide
cilik sayapun membawa ke gua Mimpi. Sebuah gua yang tembus ke sumber mata air
terjun diatas pegunungan.
Saat kami masuk, dan saat saya sedang asyik-asyiknya
menikmati stalaktit dan stalagmite, ehhh… saat senter yang saya pegang menyorot
sepasang anak muda di antara dinding gua, saya kaget…! Saya pikir ada
penampakkan roh halus! Tetapi para mahluk yang saya kira penampakkan ini
buru-buru menghindar dan pergi, dan tidak berapa lama kemudian, sayapun
menyorot seorang wanita muda di dinding yang lain lagi….
Waduhhh rupanya banyak
penghuni di gua ini. Dan si guide cilikpun bercerita banyak pasangan anak muda
berkunjung ke gua ini.
Akhirnya sayapun urungkan niat untuk menyusuri gua ini lebih
jauh lagi. Kamipun keluar dan menikmati pemandangan sekitar sungai dan danau.
Hari mulai menjelang
sore dan sayapun kembali menuju ke kota makassar lalu lanjut ke terminal bus
untuk melanjutkan perjalanan saya menuju ke Tana Toraja. Dan tidak lupa saya
membeli sebuah souvenir kupu-kupu awet yang cantik sebagai kenangan akan
keindahan air terjun Bantimurung ini.
Happy Traveling...
Ngetrip ke mana lagi...
No comments:
Post a Comment