Pemandangan dari pesawat
Ketika
banyak berita di Eropa untuk memperingati 10 tahun tsunami yang
terjadi di samudera Hindia, dengan dampak paling parah adalah Nagroe
Aceh Darusalam, sayapun teringat ketika mengunjungi provinsi ini
pada tahun 2005, setahun setelah tsunami.
Tadinya
kunjungan saya untuk menjelajahi Sabang, tetapi ketika kami keluar
dari Bandar Udara International Sultan Iskandar Muda, sepanjang jalan
ke Banda Aceh yang terlihat hanya tanah lapang dengan beberapa rumah,
yang masih berdiri setelah disapu oleh air akibat gempa bumi 9,3
skala richter, yang terjadi 160 km sebelah barat Aceh. Maka kamipun
memutuskan menjelajahi Banda aceh dan sekitarnya saja.
Setelah
meletakkan ransel di hotel, kamipun menuju ke landmark kota ini,
mesjid Raya Baiturrahman, yang berdiri megah setelah diterjang
tsunami. Mesjid yang terletak di jantung kota ini dibangun pada tahun
1612 oleh Sultan Iskandar Muda sebagai mesjid kesultanan Aceh. Dan di
mesjid inilah ratusan orang mengungsi dari bencana tsunami.
Mesjid Raya Baiturrahman
Setelah itu
kamipun lanjut ke desa Punge, Blancut, dimana terdapat sebuah
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung yang terdampar di
tengah-tengah pemukiman penduduk. Kapal dengan panjang 63 meter dan
berat 2.600 ton ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee
Lheue yang ditambatkan di perairan Aceh. Ketika terjadi tsunami kapal
ini terseret gelombang pasang setinggi 9 meter hingga sejauh 5 km.
Tidak ada yang membayangkan kapal ini terhempas hingga ke jantung
kota Banda Aceh. Ukuran kapal yang besar dibandingkan dengan rumah
penduduk sekitarnya menjadi pengingat akan dahsyatnya gelombang tsunami.
PLTD Apung
Perjalanan
lanjut menuju ke pantai Ulee Lheue, disepanjang jalan kami hanya
melihat tanah lapang yang masih tergenang air di beberapa bagian
serta kolam-kolam air yang dulunya merupakan bangunan rumah pênduduk yang sudah hilang di sapu air, yang tertinggal hanya puing-puing bekas bangunan saja.
Serta terdapat beberapa kapal nelayan yang terdapar hingga
di daratan. Lalu kami juga melihat beberapa rumah darurat yang
dibangun pemerintah atau organisasi bantuan kemanusiaan bagi para
pengungsi dan penduduk yang telah kehilangan rumahnya. Ketika kami
sampai di pantai ini, terdapat banyak bekas puing bangunan yang
berserakan di sepanjang pantai, tetapi pesona pantai ini tetap
terlihat indah dengan pemandangan pulau-pulau kecil dikejauhan serta
perbukitan yang menjadi latar.
Tanah bekas bangunan yg sudah tinggal puing
Pantai Ulee Lheue
Perahu nelayan di daratan bekas pemukiman
Lalu kami
lanjut ke pantai Lampu'uk, sebuah pantai di wilayah Lhok Nga, Aceh
Besar, sekitar 30 menit dari kota. Sepanjang jalan kami melihat
perbukitan yang berjejer dengan persawahan yang mulai menguning,
pemandangan yang indah sekali, kontras dengan langit yang mulai
mendung. Tidak bosan-bosannya saya mengagumi pemandangan yang tersaji
ini, tidak ada rasa bahwa daerah ini pernah di landa tsunami. Ketika
kami sampai di pantai yang mempunyai garis pantai yang panjang ini,
sudah begitu banyak turis lokal yang bermain-main di tepian pantai.
Pantai ini ada bagian yang landai, yang berbatu-batu serta laguna,
dan dibelakang terdapat perbukitan. Dan menurut penjelasan penduduk
sekitar, ketika tsunami, air pasang hingga ke perbukitan dan
memporak-porandakan rumah-rumah penduduk serta semua bangunan di
pantai. Walau tidak ada bangunan satupun di sepanjang pantai, dan
banyak bagian yang rusak karena gelombang tsunami, pantai Lhok Nga
tetap indah dengan ombaknya yang cukup besar.
Setelah itu
kamipun kembali ke hotel, untuk persiapan perjalanan esoknya.
Pemandangan sawah dgn perbukitan
Pantai Lhok Nga
Keesokkannya,
sebelum kembali ke Jakarta, kamipun berkunjung ke Taman Sari Gunongan
dan Kandang yang terletak dalam kota, tidak jauh dari mesjid Raya
Bauturrahman. Adapun warisan dari Sultan Iskandar Muda ini dibangun
pada tahun 1630-1653, yang dipersembahkan untuk permaisuri tercinta,
Putri Kamaliah (Putroe Phang), putri Sultan Pahang. Gunongan adalah
sebuah bangunan persegi enam berbentuk seperti kelopak bunga yang
sedang mekar. Gunongan yang berarti gunung, dibangun semirip mungkin
dengan kampung halaman sang permaisuri di Pahang, Johor, yang
dikelilingi pegunungan. Bangunan tiga tingkat yang serba putih ini
memiliki tinggi 9,5 meter dan terdapat 7 anak tangga yang hanya muat
satu orang, dan dari puncak bangunan, kita dapat melihat sungai
Daroy, taman Kandangan serta Kerkhoff Peutjut(kuburan kolonial
Belanda. Dimana Terdapat makam Jenderal Köhler, jenderal
Belanda yang tewas saat agresi militer tahun 1873).
Sedangkan
Kandangan adalah sebuah bangunan berbentuk persegi, digunakan sebagai
tempat Putri Pahang beristirahat, seusai berenang di sungai Daroy.
Taman Sari Gunongan
dan Kandang
Kandang
Akhirnya tiba waktunya kami harus ke
bandara dan kembali ke Jakarta.
Suatu perjalanan yang cukup
memberi saya pelajaran akan gejolak alam yang begitu hebat.
No comments:
Post a Comment