Sunday 11 January 2015

Dieng, Indahnya Tanah Para Dewa Dewi






Suatu kali mendapat ajakkan teman untuk mengunjungi daratan tinggi Dieng dibulan Maret yang cerah, maka kami bertigapun berangkat dengan bus dari Rawamangun, Jakarta.

Dataran tinggi Dieng terletak 30 km dari kota Wonosobo, tepatnya di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Dataran tinggi Dieng merupakan desa tertinggi di pulau Jawa, berdiri di ketinggian 2.000 m diatas permukaan laut, dengan udara yang sejuk, serta sering ditutupi kabut tebal. dataran tinggi ini dikelilingi oleh pegunungan, diantaranya Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Perahu, Gunung Rogojembangan, dan Gunung Bismo. Selain keindahan alamnya, dataran tinggi Diengpun memiliki banyak candi-candi kecil kuno yang indah yang dinamai tokoh-tokoh cerita epik Mahabrata seperti, Arjuna, Bima, Gatotkaca, Srikandi, Nakula, Sadewa, dll. Serta hamparan persawahan dan perkebunan kentang yang berdampingan dengan kawah yang selalu mengeluarkan asap belerang. Karena keindahannya yang menakjubkan inilah diyakini bahwa Dieng dipilih sebagai tempat yang sakral dan tempat bersemayamnya dewa dewi. Nama 'Dieng' sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu 'Di' yang berarti tempat yang tinggi dan 'Hyang' yang artinya dewa dewi. Diartikan kemudian sebagai tempat kediaman para dewa dewi.

Sesampai di terminal Mendolo, kami lanjut dengan bus kecil menuju ke Dieng. Ketika dalam bus kecil ini, jalan yang berkelok-kelok serta goyangan bus yang lumayan bergetar, tidak mengganggu kami yang terpesona akan indahnya pemandangan alam yang tersaji disepanjang jalan. Rasa cape badan ini setelah semalaman dalam bus dari Jakarta tergantikan rasa kagum akan keindahan alam yang menyejukkan mata.
Ketika bus berhenti di akhir tujuan yaitu di pertigaan Dieng, kamipun langsung menuju ke Hotel Bu Jono, dimana kami menginap. Dan tanpa menunggu lama, kamipun mulai menjelajahi dataran tinggi yang cantik ini. 


 Narsis depan hotel Bu Jono


Begitu banyak yang ditawarkan oleh dataran yang indah ini, kamipun membuka list, dan tujuan pertama jatuh pada Sumur Jalatunda, sumur tua yang terkenal dengan beraneka macam mitosnya. Kamipun menyewa ojeg motor, yang selalu stand by depan hotel. Pemandangan sepanjang jalan dengan hamparan perkebunan milik warga dan juga kanal pengolahan panas bumi milik PT. Geodipa sungguh tidak membosankan. Dan kamipun berhenti sebentar untuk menikmati perkebunan kentang dengan latar belakang kawah Sileri yang mengepulkan asap belerang.


 Pemandangan kawah Sileri dgn perkebunan kentang



Kentang Siap diangkut


Untuk sampai ke sumur Jalatunda, kami perlu menaiki 257 anak tangga. Dipuncak tangga terdapat sebuah pendopo dan juga beberapa anak yang menjual batu kerikil dalam kantong plastik. Konon, menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa mereka yang mampu melempar batu kerikil ke sumur sejauh jarak tertentu, akan mendapatkan keberuntungan dan terkabul niat serta keinginannya. Kamipun membeli sekantong plastik batu kerikil tersebut dan mencoba keberuntungan kami. Tetapi setiap kali saya mencoba melempar batu ke sumur dengan diameter 90 meter dengan kedalaman ratusan meter tersebut, batu yang saya lempar selalu jatuh di tepian yang ditumbuhi dengan berbagai macam tanaman, rasanya sudah sekuat tenaga melempar, tetap susah untuk mencapai ditengah-tengah sumur, hingga satu kantong plastik batu kerikilpun habis. Yah mungkin belum makan siang, jadi tenaga masih kurang (alasan untuk hibur diri he he he...), dan kamipun turun untuk lanjut ke list berikutnya.


 Sumur Jalatunda


Ketika kami melihat suatu pemandian air panas masyarakat setempat, kaki kamipun berhenti untuk merasakan hangatnya air di kolam persegi yang putih susu. Terdapat beberapa anak-anak serta orang dewasa sedang mandi dan bercanda di Pemandian air panas Pulo Sari ini, kamipun menikmati setiap canda dan tawa dari masyarakat setempat yang sambil tersenyum melihat tingkah kami yang sedang asyik bernarsis ria. Di samping pemandian, terdapat sebuah kali dengan aliran air yang cukup deras. Setelah itu, kamipun berlalu melanjutkan perjalanan ke danau Mardada.


 Pemandian air panas Pulo Sari


Kali disamping pemandian air panas Pulo Sari


Danau Mardada merupakan danau terluas di dataran tinggi Dieng. Danau ini tidak memiliki sumber mata air, seluruh air yang menggenangi telaga ini merupakan tampungan air hujan. Tidak begitu banyak yang bisa dinikmati di danau ini, jadi kamipun beranjak ke kompleks candi Arjuna.



 Danau Mardada


Kompleks candi Arjuna merupakan candi Hindu tertua di pulau Jawa, dibangun pada 809 M, dan merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa. Kompleks ini terdiri dari 5 candi, yaitu candi Arjuna, candi Semar, candi Sembadra, candi Srikandi, dan candi Puntadewa. Candi-candi ini terbuat dari batu andesit dan tidak banyak relief pada dindingnya, hanya relief Dewa Trimurti yaitu, Siwa, Wisnu dan Brahma yang dipahatkan di candi Srikandi. Ketika kami sedang asyik berfoto ria, datang rombongan anak-anak sekolah dengan baju olah raga. Kamipun mengajak bercanda dan bernarsis bersama. Bercanda dengan anak-anak Dieng yang lucu-lucu ini membuat perjalanan kami semakin menyenangkan.


 Anank-anak Dieng


Asyiknya bercanda dgn anak-anak Dieng



Hanya Candi Srikandi yg mempunyai relief


Setelah bermain di kompleks Arjuna kamipun kembali ke hotel yang tidak jauh jaraknya. Saat sedang duduk santai di ruang tamu, datang seorang pegawai losmen yang memperkenalkan buah carica. Awalnya saya pikir itu buah pepaya, tetapi ketika saya sentuh, rasanya keras, bau harum dan rasanya asam, masyarakat Dieng menyebutnya carica, yang masih satu famili dengan pepaya, yang juga disebut pepaya gunung. Buah ini biasa dijadikan sirup, jus, manisan dan juga selai dan menjadi salah satu oleh-oleh khas dari Dieng.


 Buah Carica



Pohon Carica yg spt pepaya


Tanpa terasa perut kamipun mulai keroncongan, akhirnya kami menemukan rumah makan yang tidak begitu jauh dari hotel. Selesai menikmati makan malam, kamipun berjalan-jalan sambil menikmati matahari terbenam diantara perbukitan dengan pemandangan persawahan, rumah penduduk serta sebuah mesjid yang tidak jauh letaknya. Sungguh tidak lelah mata ini menikmati keindahan alam Dieng dengan segala aktifitas penduduknya yang ramah. 



 berpapasan dgn para pengangkut kentang


 Langit Sore 



pemandangan dari atas hotel


Keesokkan harinya jam 04.00 subuh kami dibangunkan oleh pegawai hotel yang akan menjadi guide kami menuju ke puncak Sikunir yang tingginya 2.500 meter dpl, untuk menyaksikan matahari terbit diantara pegunungan, yang terkenal dengan golden sunrise-nya. Sesampai di desa Sembungan, dari sana perjalanan dilanjutkan dengan mendaki, kami mendaki di jalan setapak yang menanjak dengan tingkat kecuraman hampir 90 derajat, di sisi jalan terlihat jurang menganga, untung hari masih gelap, jadi rasa takut ketinggian tertutupi oleh kegelapan. Perlu perjuangan dan stamina yang fit untuk sampai di puncak Sikunir, dengan suhu udara yang dingin seperti musim dingin di Perancis, jaket yang saya pakai terasa belum cukup melindungi tubuh dari dinginnya angin yang menggigit.

Akhirnya kamipun sampai di puncak dengan kaki yang gemetaran dan lutut yang lunglai. ternyata tidak hanya kami saja yang memburu golden sunrise ini, terdapat beberapa rombongan lain yang tiba lebih dulu. Semuanya sudah siap dengan kameranya masing-masing.

Ketika semburat warna merah oranye menembus di langit, diantara kegelapan, yang seakan-akan membangunkan alam dari mimpinya, sungguh suatu pemandangan yang mengagumkan. Dan akhirnya muncullah sang mentari dengan warna kemerahan, dan berubah kekuningan diantara awan-awan, dengan deretan gunung Sindoro dan Merapi yang hampir tertutup awan. Semua rasa lelah tergantikan decak kagum akan keindahan alam dari puncak Sikunir yang menawan, ahhhh seperti inikah rasanya negeri awan? Entahlah, yang pasti kami telah terpesona akan keindahan alam ciptaan Sang Maha Kuasa.


 pemandangan dr Sikunir


Ketemu rombongan lain


Selesai menyaksikan matahari terbit di puncak Sikunir, kamipun melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang, ketika sedang berjalan turun, dari jauh saya melihat sebuah telaga dengan bentuk yang unik, dan pemandu kami mengatakan itu adalah telaga Cebong, berasal dari kata kecebong. Dan saya perhatikan memang mirip kecebong, unik ya?


 Danau Cebong


Saat sampai di areal kawah, pemandangan alam hijau hutan dan persawahan hilang diganti dengan pemandangan hamparan tanah tandus kuning kecoklatan dengan kolam yang terus menerus mengepulkan asap. Ketika kaki menginjak di pintu masuk ke kawah ini, bau belerang langsung menyambut kedatangan kami. Konon kawah Sikidang ini selalu berpindah-pindah tempat, dan berjalan di kompleks ini cukup mendebarkan, karena kami harus melompat-lompat dan mencari tanah yang kering untuk menjejakkan kaki, dikarenakan tanah-tanah di kawah ini cukup rapuh dan mudah longsor, serta lubang-lubang bekas kawah terdapat di mana-mana. Dan akhirnya kami sampai di kawah Sikidang, sebuah kolam besar dengan air bercampur lumpur abu-abu yang terus menggelegak dan tentu saja dengan asap belerang yang sangat menusuk hidung. Karena saking banyaknya asap belerang, kita tidak bisa melihat ujung kolam ini, dan disekeliling kolam dipasangi pagar bambu demi keselamatan para pengunjung.

Kami tidak tinggal lama di sini, karena tidak tahan dengan asap belerang dan baunya yang menusuk hidung, kamipun berlalu ke sebuah warung kecil untuk sarapan pagi. Warung ini menyediakan gorengan yang segar, ada tahu, tempe, pisang dan juga mie resbus, serta tidak lupa kopi dan teh khas Wonosobo. Sayapun memesan mie rebus sebagai sarapan yang cukup menghangatkan badan di pagi yang cukup dingin ini.


 Kawah Sikidang



 Asap belerang dr kawah Sikidang



 Narsis dgn rombongan yg ktm di puncak Sikunir



Warung dekat kawah Sikidang


Selesai sarapan, perjalanan lanjut ke candi Bima, yang terletak di persimpangan jalan menuju ke kawah Sikidang dan komplek candi Arjuna. Candi Bima terletak menyendiri diatas bukit, candi ini merupakan bangunan terbesar diantara kumpulan candi di Dieng. 


 Candi Bima


Puas mengelilingi candi Bima, kamipun meneruskan perjalanan menuju ke telaga Warna, sang primadona Dieng. Ketika hampir sampai di telaga Warna, kamipun diharuskan mendaki lagi, untuk mencari lokasi yang bisa melihat keseluruhan telaga ini. Jalanan yang harus kami daki cukup licin dan sempit. Kamipun melewati rimbunnya pepohonan serta semak-semak yang harus kami terobos, hingga akhirnya sampailah di puncak dimana keindahan telaga ini tersaji di depan mata. Tidak sia-sia hasil perjuangan demi melihat keindahan sang primadona daratan tinggi Dieng ini. Dari sini kami menyaksikan keindahan telaga Warna dengan warna-warna yang cantik, hijau pucat di tengah telaga dan kecoklatan di tepian telaga, serta hijau tua di telaga Pengilon yang terletak bersebelahan dengan telaga warna, yang hanya di batasi rerumputan saja. 


 
Telaga Warna


Walaupun keindahan warna di telaga ini tidak sewarna-warni seperti foto yang kami lihat di hotel, tetap saja keindahan telaga ini mengagumkan. Di sisi lain dari telaga, terdapat perbukitan yang berubah menjadi perkebunan kentang yang berundak-undak, dan dikejauhan terlihat gunung Merapi yang tertutup awan dipuncaknya. Sejauh mata memandang, pemandangan yang tersaji selalu mengundang decak kagum.


 Pemandangan sebelah kiri dr Telaga Warna


Setelah itu kamipun mendekati hingga ke bibir telaga, untuk melihat lebih jelas warna air telaga ini. Adapun fenomena warna telaga ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar matahari mengenainya, maka warna air telaga nampak berwarna warni. 


 Telaga Warna dr dekat


Terakhir sebelum kami meninggalkan Dieng untuk menuju ke Borobudur, kami berhenti di Wonsobo untuk makan siang di warung Pak Muhadi dengan makanan khas Wonosobo, mie ongklok sate, rasanya cukup menggoyang lidah. Dan tidak lupa kami juga mengunjungi perkebunan teh yang ada di sepanjang jalan. Berfoto di hamparan pohon teh yang telah diambil pucuknya serta membeli beberapa produk teh khas Wonosobo. Rasanya perjalanan 2 hari satu malam terasa kurang untuk menjelajahi seluruh Dieng yang indah. Berharap datang kembali menikmati sunrise yang spektakuler di puncak Dieng yang lainnya dan menjelajahi kawah-kawah serta gua-gua yang belum sempat kami kunjungi, serta tidak lupa akan senyuman dan keramahan penduduk Dieng.


 Perkebunan teh


Mie Ongklok sate




 

2 comments:

Tira Soekardi said...

Dieng selalu indah, alamnya asri dan hijau

Diary si kepik said...

@Tira Soekardi iya, alamnya benar2 indah dan juga peninggalan sejarahnya banyak....