Monday 21 March 2016

Menjelajahi Negeri Pelaut, Makassar







Ngebolang ke negeri pelaut, Makassar, adalah suatu perjalanan yang sangat berkesan bagi saya. Sebuah kota yang sudah terkenal dari jaman dulu hingga kini sebagai pelaut ulung, pemberani dan gagah perkasa. Mereka berlayar hingga ke Afrika, pulau Madagascar, China, Australia, menguasai Malaka dan Pasifik. Mereka tidak memakai kompas, tetapi dengan petunjuk bintang untuk menemukan jalan, dan ramalan dari air laut. Dan mereka selalu menemukan jalan yang benar hanya dengan mencium dari air laut. Merekalah sang pembuat Phinisi yang telah mendunia itu.



Ketika burung besi yang membawa saya sampai di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar atau Sultan Hasanuddin International Airport, sayapun sudah tidak sabar untuk menjelajahi kota dengan legenda pelautnya ini. Adapun bandara ini merupakan salah satu bandara yang cukup besar dan bersih, dengan arsitektur yang cukup unik. Setelah keluar dari bandara sayapun naik taxi menuju ke hotel.


Setelah meletakkan semua barang di hotel, jam menunjukkan pukul 11:00 pagi, maka tanpa menunggu sayapun mulai menjelajahi kota ini. Pertama yang saya tuju tentu saja Fort Rotterdam, benteng peninggalan kesultanan Gowa dan Belanda yang paling terkenal di Makassar. Benteng yang terletak di dalam kota ini sangat mudah dikenali, karena arsitektur bangunan yang serba kemerahan dan tentu saja dengan ciri yang bernuansa Belanda. Benteng yang yang menjadi saksi Sejarah Makassar ini bentuknya  menyerupai penyu, orang Makassar dahulu menyebutnya Benteng Payyua (Benteng Penyu) karena filosifi Penyu yang bisa Hidup didarat maupun di Laut.






Masuk ke dalam benteng ini tidak dikenakan biaya, hanya sumbangan suka rela saat mengisi buku tamu saja. Benteng ini dibangun oleh Raja Gowa ke-X, Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng pada tahun 1545. Awalnya benteng ini berbentuk segi empat, seperti halnya arsitektur benteng gaya Portugis, dan bahan dasarnya campuran batu dan dan tanah liat yang dibakar hingga kering. Kesultanan Gowa yang pernah Berjaya pada abad ke-17 ini memiliki 17 buah benteng yang mengitari seluruh kota. 
Dan benteng Fort Rotterdam merupakan benteng yang paling megah diantara benteng lainnya, dan keasliannya masih terpelihara hingga kini. 

Benteng ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda, ketika Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Admiral Cornelis Janszoon Speelman menyerang kesultanan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Selama satu tahun penuh Gowa diserang, dan serangan ini juga mengakibatkan sebagian benteng hancur. Akibat kekalahan ini Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Gubernur Jenderal Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sebagian hancur dengan model arsitektur Belanda. Bentuk benteng yang tadinya berbentuk segi empat dengan empat bastion, ditambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Nama benteng kemudian dinamakan Fort rotterdam, yang merupakan nama tempat kelahiran Speelman.
Sejak saat itu benteng Rotterdam berfungsi sebagai pusat perdagangan dan penimbunan hasil bumi dan rempah-rempah, sekaligus pusat pemerintahan Belanda diwilayah Timur Nusantara.

Benteng yang dilihat dari udara seperti penyu yang merangkak ke laut ini mempunyai 5 bastion, yaitu Bastion Bone yang terletak disebelah barat dan merupakan kepala penyu, Bastion Bacam, Bastion Butan, Bastion Mandrasyah dan Bastion Amboina.

Selama dalam benteng ini, saya sangat mengagumi tiap bangunan yang masih kokoh. dan di dalam benteng juga terdapat sebuah museum yang menyimpan berbagai benda kuno peninggalan Bugis-Makassar, Museum La Galigo. Tiket masuk ke museum adalah Rp.3.000,- untuk dewasa dan Rp.2.000,- untuk anak-anak.













Setelah puas berkeliling di Benteng Rotterdam, sayapun melanjutkan perjalanan berikutnya, Pelabuhan Paotere. Tak terasa hari sudah melewati jam makan siang, pantesan perut saya menjerit-jerit minta diisi, maka sayapun mampir di sebuah restoran seafood. Memesan ikan bakar baronang, cah kangkung dan sayur asem, tidak lupa makanan khas Bugis Makassar, gogoso, sejenis lemper dari ketan.   










Setelah perut terisi, maka sayapun lanjut ke pelabuhan Poatere. Sesampai di pelabuhan ini, pemandangan yang terlihat adalah deretan kapal-kapal kecil serta kapal tradisional phinisi hilir mudik dengan tiang-tiang kapal yang menjulang ke angkasa. Aktifitas di pelabuhan ini sungguh sibuk, bongkar muat barang dari ratusan kapal phinisi yang berlayar di kawasan Indonesia timur dan juga kesibukkan para penumpang kapal motor tradisional yang akan ke pulau atau daerah lainnya di Sulawesi Selatan. Tidak hanya aktifitas bongkar muat dan kesibukkan para penumpang, tetapi terdapat juga penjualan ikan segar hasil tangkapan laut.       

Melihat keindahan kapal phinisi ini mengingatkan saya akan pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta. Ketika melihat semua kapal-kapal phinisi yang terkenal ini, imajinasi saya melayang ratusan tahun lalu saat para pelaut Bugis menjelajahi lautan hingga ke negeri nan jauh seperti Afrika dan wilayah Pasifik. Tidak heran bila sebuah lagu anak-anakpun diciptakan akan kehebatan bangsa Indonesia di lautan, “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”.






Dan sebelum matahari terbenam sayapun buru-buru meninggalkan keperkasaan kapal-kapal phinisi yang menawan menuju ke Pantai Losari, pantai kebanggaan kota Makassar. Dikatakan bahwa pemandangan matahari terbit dan matahari terbenam sangatlah indah. Tetapi sayang, saya agak terlambat sampai di pantai ini, saya hanya menikmati sisa bias sinar mentari yang telah pulang keperaduannya. Tetapi keindahan warna merah dan lembayung dari sisa sinar matahari di langit pantai Losari sungguh menawan. Saya hanya bisa duduk dan menikmati indahnya pantai yang dihiasi warna langit nan memukau.





Setelah puas menikmati alam pantai, haripun sudah gelap, dan sayapun kembali ke hotel. Dan tentu saja sebelum kembali saya sempatkan makan malam dengan hidangan laut yang sungguh menggoyang lidah. Dan tidak lupa dengan penutup pisang epe nan terkenal itu. Ahhh hari yang begitu lelah tetapi indah.






Esok harinya, setelah sarapan di hotel, sayapun berburu waktu berkeliling kota Makassar sebelum melanjutkan jelajah ke air terjun Bantimurung. Selama berkeliling kota Makassar, melihat kesibukkan dalam kota Makassar, hingga ke China Town. Lalu sayapun bertemu sebuah patung sepak takraw yang serba putih tetapi menampakkan kegesitannya bermain bola takraw, sebuah cabang olahraga tradisional yang terkenal di Makassar. 





Setelah puas keliling kota, sayapun lanjut menuju ke air terjun Bantimurung yang terletak di taman nasional Bantimurung, kabupaten Maros, sekitar 50km dari kota Makassar. Adapun kata Bantimurung berasal dari dua kata bahasa bugis; Benti berarti air, Merrung berarti menderu mengandung makna air menderu. Selain itu Bantimurung merujuk pada kata Banting Murung atau menghancurkan kegelapan, dan kegelisahan seseorang, berarti pengunjung dapat melepaskan kesedihan dan kegelisahan atau pikiran dengan memandangi alam. Untuk sampai ke air terjun Bantimurung, kita dapat naik kendaraan umum “pete-pete” dari sudiang ke di Maros dengan tarif  Rp. 6000/ orang, kemudian transit di pasar Maros melanjutkan menggunakan pete-pete jurusan Bantimurung dengan tarif  Rp. 7000/ orang. Tetapi karena saya tidak mempunyai waktu banyak, maka sayapun menyewa mobil untuk menghemat waktu, karena malamnya saya akan lanjut naik bus menuju ke Tana Toraja.

Sebelum masuk ke kawasan air terjun, saya melewati deretan penjual kupu-kupu yang diawetkan. Sungguh indah kupu-kupu yang dipajang di setiap toko, dari ukuran kecil hingga besar dan beraneka jenis dan warna. Dengan tarif Rp.10.000 - Rp.15.000,-  (sekarang harga sudah naik hingga rp.25.000,-), sayapun melenggang masuk ke kawasan nan sejuk ini. Setelah berjalan beberapa saat, sampailah saya di air terjun Bantimurung. 

Tetapi alamakkkk…. Banyak sekali pengunjung di air terjun ini, dari anak kecil hingga orang tua. Mereka asyik berenang atau seluncuran dengan ban dari atas batu landai yang dialiri air terjun hingga ke danau alami di bagian bawah. Air terjun ini tidak tinggi tetapi lebar dengan debit air yg cukup deras, dengan air terjun yang jatuh mengairi batu besar yang seperti papan luncur alami. Sayapun hanya menikmati keasyikkan masyarakat yang meluncur ataupun berenang di sekitar air terjun.






Lalu sayapun naik tangga batu menuju ke atas dimana sungai Bantimurung mengalirkan airnya, tiba-tiba saya dihampiri seorang bocah laki-laki berumur sekitar 12 tahun yang menawarkan jasa guide. Saya meihat bocah yang ramah ini dan sayapun setuju. Dan diapun membawa saya menyusuri aliran sungai Bantimurung, melihat masyarakat yang asyik terjun ke sungai ataupun memanjat pohon. Lalu diapun membawa saya menuju ke kawasan untuk melihat kupu-kupu. Begitu banyak sekali kupu-kupu di wilayah ini, tidak heran bila Alfred Russel Wallace seorang peneliti dari Inggris menjuluki wilayah ini “The Kingdom of Butterfly” (Kerajaan Kupu-kupu), yang menghabiskan sebagian hidupnya (antara tahun 1856-1857) di kawasan tersebut untuk meneliti berbagai jenis kupu-kupu. Dan menurutnya sedikitnya terdapat 250 spesies kupu-kupu yang hidup di kawasan ini. Dan terdapat beberapa jenis kupu-kupu langka yang dilindungi dan hanya terdapat di wilayah Sulawesi Selatan saja.












Setelah puas memandangi berbagai jenis kupu-kupu dan danau kassi kebo, sebuah danau yang indah dengan air berwarna kehijauan, lalu guide cilik sayapun membawa ke gua Mimpi. Sebuah gua yang tembus ke sumber mata air terjun diatas pegunungan. 

Saat kami masuk, dan saat saya sedang asyik-asyiknya menikmati stalaktit dan stalagmite, ehhh… saat senter yang saya pegang menyorot sepasang anak muda di antara dinding gua, saya kaget…! Saya pikir ada penampakkan roh halus! Tetapi para mahluk yang saya kira penampakkan ini buru-buru menghindar dan pergi, dan tidak berapa lama kemudian, sayapun menyorot seorang wanita muda di dinding yang lain lagi…. 
Waduhhh rupanya banyak penghuni di gua ini. Dan si guide cilikpun bercerita banyak pasangan anak muda berkunjung ke gua ini. 
Akhirnya sayapun urungkan niat untuk menyusuri gua ini lebih jauh lagi. Kamipun keluar dan menikmati pemandangan sekitar sungai dan danau.









Hari mulai menjelang sore dan sayapun kembali menuju ke kota makassar lalu lanjut ke terminal bus untuk melanjutkan perjalanan saya menuju ke Tana Toraja. Dan tidak lupa saya membeli sebuah souvenir kupu-kupu awet yang cantik sebagai kenangan akan keindahan air terjun Bantimurung ini.


Happy Traveling...


Ngetrip ke mana lagi...

No comments: