Sunday 30 November 2014

Perjalanan yang tak terlupan di Tana Toraja




Mengawali dari ajakan teman untuk menjelajahi keunikan budaya di Tana Toraja (Tator), Sulawesi Selatan, yang terkenal dengan upacara adat kematian/ Rambu Solok yang dapat berlangsung selama berhari-hari melibatkan seluruh penduduk desa.. Selain upacara rambu Solok, tentu saja wisata ke makam-makam dimana jenazah tidak dikuburkan di tanah. Budaya Toraja memang tidak menguburkan mayat di dalam tanah. Mereka menganggap bahwa tanah merupakan pemberian Yang Maha Kuasa yang wajib dijaga kesuciannya. Oleh sebab itu mereka meletakkan sanak keluarga yang sudah meninggal ke dalam batu atau batang-batang pohon. Karena kekayaan budayanya yang unik ini, pada tahun 2004 Tana Toraja dimasukkan dalam daftar sementara warisan budaya dunia oleh UNESCO (Inscription World Heritage-C1038).

Dan inilah kami dalam perjalanan dengan bus selama 8 jam dari Makassar ke Tana Toraja. Selama dalam perjalanan, saya sangat menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh alam pegunungan kapur, lembah-lembah yang cantik dengan persawahan yang hijau, serta rumah-rumah tradisional Bugis dan Toraja yang unik. Tana Toraja terletak didaratan tinggi yang dikelilingi pegunungan dengan lereng yang curam dan tentu saja dengan cuaca yang sejuk.
Jam menunjukkan pukul 5:00 pagi ketika kami sampai di Rantepao, lalu kamipun menyewa ojeg motor dan langsung check in ke hotel untuk beristirahat sebentar sebelum mulai menjelajahi kabupaten ini.



 Sungai Sa'dan




 Hotel tempat kami menginap



 Transportasi di Rantepao



Jam 8:00 pagi kamipun mulai keluar dari hotel setelah sarapan pagi dengan ditemani kopi khas Toraja. Tempat pertama yang ingin kami kunjungi adalah Ke'te Kesu, 4 km dari tenggara Rantepao . Dan untuk mencapai ke sana kamipun menyewa mobil yang dikenalkan bapak tukang ojeg motor yang baik, dan dalam perjalanan, bapak supirnyapun mulai bercerita bahwa nenek moyang suku bangsa Toraja, berasal dari dataran tinggi Cina Selatan atau dari Indochina pada masa ribuan tahun silam, lalu mereka mengarungi lautan dan ketika terjadi badai topan, merekapun mendarat di sebuah pulau dan menggunakan kapal mereka sebagai atap sebagai pelindung. Yang akhirnya melahirkan rumah tradisional Toraja dengan atap seperti bentuk kapal dan semuanya menghadap ke arah utara dimana asal usul mereka.


Akhirnya kitapun sampai di Ke'te Kesu, saat memasuki kawasan Kete’ Kesu yang kita jumpai pertama kali adalah deretan penjual souvenir, dan tidak lupa sayapun membeli sebuah lukisan bermotif ukiran khas Toraja yaitu rumah Tongkonan. Ketika menginjakkan kaki di kompleks ini, kami disuguhkan pemandangan rumah Tongkonan yang berbaris rapi berhadapan dengan lumbung padi, bentuk Tongkonan sangat khas yang memiliki atap yang besar dan tinggi menjulang berbentuk seperti perahu. Atap rumah terbuat dari susunan bambu, dan pada bagian atas depan rumah diberikan hiasan yang didominasi oleh warna orange dan hitam, serta terdapat deretan tanduk kerbau yang terpajang disebuah tiang di bagian depan rumah. Tanduk kerbau tersebut merupakan simbol status sosial pemilik rumah dan sudah berapa kali melakukan upacara rambu solo (upacara pemakaman).
Dalam kompleks ini, terdapat 6 Tongkonan dan 12 lumbung padi, dan tidak jauh dari kompleks Tongkonan, kami melalui sebuah tangga batu dan bertemu dengan pekuburan dengan puluhan tengkorak dan tulang belulang yang diletakan bertumpuk di peti – peti yang sudah nampak usang dan  rapuh. Sedangkan beberapa peti yang lain masih berada di dinding tebing dan ditopang dengan balok-balok kayu. Dan sayapun tidak berlama-lama di sini.


 Tongkonan di Ke'te Kesu




Deretan tanduk kerbau



Pekuburan di Ke'te Kesu



kamipun lanjut ke pekuburan Batu Lemo, tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Lemo adalah pekuburan berupa dinding tebing tinggi yang di lubangi, dan lubang-lubang tersebut diisi oleh peti-peti jenazah. Diatas tebing tersebut juga terdapat deretan patung kayu yang di sebut 'tau-tau'. Setiap tau tau mewakili satu jenazah yang dikubur di dinding batu tersebut. Konon kawasan pemakaman ini sudah ada sejak abad ke-16. Dan untuk membuat lubang ini diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dengan biaya sekitar Rp. 30 jutaan, lama ya?
Selain pekuburan di dinding, kita juga melihat pemandangan yang asri di sini, hamparan sawah, hutan yang hijau serta bukit-bukit cadas yang megah. Di sini juga terdapat deretan toko-toko suvenir, dan saya melihat bahwa tau-taupun bisa dibeli dan menjadi suvenir khas Toraja, menarik yah?


 Pekuburan Lemo















 Pemandangan di Lemo





Perjalanan kamipun lanjut menuju ke Londa, sebuah pekuburan batu di dinding bukit. Ketika kami sampai, yang pertama menyambut kami tentu saja deretan toko-toko suvenir. Dan tidak jauh kami melihat sebuah bukit yang cukup curam dengan peti mati bertumpuk dicelah bebatuan, dan patung kayu manusia lengkap dengan pakaian berjejer rapi di dinding tebing yang dipahat ibarat jendela sebuah rumah. Tidak jauh dari makam gantung ini terdapat sebuah goa makam yang usianya ratusan tahun. Kamipun beranikan diri masuk ke makam goa ini dengan seorang guide yang membawa lampu petromax. Di dalam goa kami menemukan puluhan peti mati yang di sebut 'Erong'. Bentuknya bisa seperti babi, perahu, kerbau, bila bentuknya kerbau menandakan bahwa di dalam peti ini terbaring mayat seorang pria. Dan bila berbentuk babi, maka berarti yang ada di dalamnya adalah mayat perempuan. Selain erong-erong, kami juga melihat tulang belulang berceceran di lantai, tengkorak-tengkorak yang tersusun di dinding goa atau di celah-celah bebatuan goa. Bila saya solo traveling ke sini, mungkin saya sudah ngacir duluan, dan sayapun memandang teman saya dan dia tersenyum untuk menenangkan saya yang sudah tidak tenang. Dan tidak memerlukan waktu lama kamipun keluar dari goa dan lanjut ke destinasi selanjutnya.


 Pekuburan di Londa


 tengkorak yg diletakkan di dinding goa



 Pekuburan Goa di Londa



 Pekuburan goa di Londa




Perjalanan terakhir kami adalah Batu Tumonga, yang terletak dilereng Gunung Sesean yang merupakan gunung tertinggi di Toraja. Dan adalah tempat terbaik untuk menyaksikan keindahan Tana Toraja dari tempat ini, termasuk panorama kota Rantepao dan lembah sekitarnya.
Dan di tempat ini juga terdapat sekitar 56 batu menhir dengan rata-rata tinggi sekitar 2-3 m, dan dalam satu lingkaran menhir terdapat 4 pohon di bagian tengahnya.
Tidak hanya di negara Eropa saja yang memiliki menhir, Indonesia juga punya dan dapat kita temukan di Tana Toraja, tanah para raja 'The Land of Heavenly King'.
Walaupun kami tidak sempat menyaksikan upacara Rambu Solok, dan juga beberapa tempat yang masih belum kami kunjungi, tetapi kami merasa inilah perjalanan kami yang tak akan terlupakan.



 Menhir




 Pemandangan di Batu Tumonga



 Pemandangan dr Batu Tumonga



Kerbau bule







2 comments:

Tira Soekardi said...

dianatra semua rumah adat aku paling suka rumah adat toraja, aku punya miniatur rumah adat toraja loh

Diary si kepik said...

@Tira Soekardi wahhh suka koleksi rumah miniatur yah...? Bentuknya unik yah?